MAKALAH PKN
HAM
DOSEN PEMBIMBING:
H. Dian Agus, S.Pd, M.Pd
Disusun Kelompok VI :
1.
Akhmad Jaidie (A1C311012)
|
6.
Tiara Ramadhianti (A1C3110
|
2.
Siti Shafiyah (A1C311006)
|
7.
Yasfi Sadriyah (A1C3110
|
3.
Hanum Masayu (A1C3110
|
8.
Yunika (A1C3110
|
4. Elka
Arytianti (A1C3110
|
9.
Siti Arda Mauliti (A1C311030)
|
5.
Muhayar (A1C311037)
|
10.
Siti Rahmah (A1C311043)
|
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2011
A. Pengertian dan
Macam-Macam Hak Asasi Manusia
1.
Pengertian Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia(HAM) mempunyai
arti penting bagi kehidupan manusia. Hak Asasi Manusia yang berisi hak-hak
dasar manusia. Hak Asasi Manusia memuat standar normatif untuk mengatur
hubungan negara dengan warga negara dan hubungan dengan sesama warga negara.
Oleh karena itu, penegakkan HAM mempunyai makna penting untuk memberikan
perlindungan terhadap hak-hak warga negara.
Dalam memahami hakikat HAM, terlebih
dahulu akan dijelaskan pengertian dasar tentang hak. Secara definitif, hak
merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman berperilaku, melindungi
kebebasan, kekebalan, serta menjamin adanya kesempatan bagi manusia untuk
menjaga harkat dan martabatnya. Menurut James W. Nickel, hak mempunyai
unsur-unsur sebagai berikut:
a.
pemilik hak
b.
ruang lingkup penerapan hak
c.
pihak yang bersedia dalam penerapan hak.
Istilah HAM yang dikenal di Barat
ialah Right of Men. Istilah “Right of Men” yang menggantikan istilah “Natural Right”. Istilah Right of Men ternyata tidak secara
otomatis mengakomodasi pengertian yang mencakup Right of Women. Oleh karena itu, istilah Right of Men diganti dengan istilah Human Rights oleh Eleanor Roosevelt karena dipandang lebih netral
dan universal.
Berikut
ini pengertian HAM menurut beberapa pendapat.
1.
Jan Materson
Hak Asasi Manusia adalah hak-hak
yang secara inhern melekat dalam diri manusia. Tanpa hak itu manusia tidak
dapat hidup sebagai manusia.
2.
John Locke
Hak Asasi Manusia adalah hak-hak
yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati.
3.
TAP MPR NO. XVII/MPR/1998
Hak Asasi Manusia adalah hak dasar
yang melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai
karunia Tuhan Yang Maha Esa, dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup,
kemerdekaan, perkembangan manusia, dan masyarakat yang tidak boleh diabaikan,
dirampas, atau diganggu gugat oleh siapapun.
4.
UU No. 39 Tahun 1999
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat
hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
5.
Koentjoro Poerbapranoto
Hak Asasi adalah hak yang bersifat
asasi. Hak asasi merupakan hak yang dimiliki oleh manusia menurut kodratnya
yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya sehingga bersifat suci.
Berdasarkan
beberapa rumusan HAM di atas, diperoleh suatu kesimpulan bahwa HAM merupakan
hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental
sebagai suatu anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dihormati, dijaga, dan
dilindungi oleh setiap individu, masyarakat, dan negara. Dengan demikian,
hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap HAM ialah menjaga keselamatan
eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan, yaitu keseimbangan
antara hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara kepentingan individu dengan
kepentingan umum. Upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi HAM
menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama antara individu dan pemerintah.
2.
Ciri-Ciri Hak Asasi Manusia
Berdasarkan beberapa rumusan HAM di
atas, dapat ditarik kesimpulan tentang beberapa cirri pokok HAM, yaitu.
a. Hak
asasi manusia tidak diberikan, dibeli ataupun diwarisi. Hak asasi manusia
adalah bagian dari individu secara otomatis.
b. Hak
asasi manusia berlaku untuk semua individu, tanpa memandang jenis kelamin, ras,
agama, etnis, pandangan politik, asal-usul sosial, dan bangsa.
c. Hak
asasi manusia tidak dapat dilanggar. Tidak seorangpun mempunyai hak untuk
membatasi atau melanggar hak individu lain. Seorang individu tetap mempunyai
hak asasi manusia walaupun sebuah membuat hukum yang tidak melindungi hak asasi
manusia.
3.
Sejarah HAM
Di dunia Barat terdapat beberapa
usaha untuk merumuskan serta memperjuangkan beberapa hak yang dianggap suci dan
harus dijamin. Dalam proses ini telah lahir beberapa naskah yang secara
berangsur-angsur menetapkan beberapa hak yang mendasari kehidupan manusia serta
bersifat universal dan asasi. Naskah tersebut ialah sebagai berikut.
No.
|
Perjanjian yang
mendasari terbentuknya HAM
|
1.
|
Magna
Charta (Piagam Agung 1215)
Magna Charta merupakan suatu
dokumen yang mencatat beberapa hak yang diberikan oleh Raja John dari Inggris
kepada beberapa bangsawan bawahannya atas tuntutan mereka. Naskah ini
sekaligus membatasi kekuasaan Raja John.
|
2.
|
Bill
of Rights (Undang-Undang Hak 1689)
Bill of Rights merupakan suatu
undang-undang yang diterima oleh Parlemen Inggris sesudah berhasil mengadakan
perlawanan terhadap Raja James II dalam suatu revolusi tak berdarah (The Glorius Revolution of 1689)
|
3.
|
Declaration
des droits de I’homme et du citoyen (pernyataan hak-hak manusia dan warga
negara 1789)
Merupakan suatu naskah yang
dicetuskan pada permulaan Revolusi Prancis sebagai perlawanan terhadap
kesewenang-wenangan rezim lama.
|
4.
|
Bill
of Rights 1789
Merupakan suatu naskah yang
disusun oleh rakyat Amerika pada tahun 1789. Bill of Rights 1789 menjadi
bagian dari undang-undang dasar pada tahun 1791.
|
Hak-hak
yang dirumuskan dalam abad ke-17 dan ke-18 ini sangat dipengaruhi oleh gagasan
mengenai hokum alam (natural law), seperti yang dirumuskan oleh John Locke
(1632-1714) dan Jean Jaques Rousseau (1712-1778). Dalam mazhab hukum alam,
konsepsi hak-hak asasi mausia hanya meliputi the right to life (hak atas hidup), the right to liberty (hak atas kemerdekaan), dan the right to property (hak atas milik
pribadi).
Menurut
John Locke, terdapat hak-hak individu dan masyarakat yang tidak dapat
dipisahkan dari dirinya dan diserahkan kepada pemimpin, yaitu hak atas hidup,
hak atas kemerdekaan, dan hak atas milik pribadi sebagai hak-hak asasi. Hak-hak
tersebut diterima setiap manusia sejak dilahirkan dan bukan diberikan oleh
hukum manusia atau masyarakat.
Dalam
abad ke-20, macam-macam hak asasi ini dianggap kurang sempurna. Setelah itu
mulailah dicetuskan beberapa hak lain yang lebih luas ruang lingkupnya.
Perumusan hak yang terkenal ialah empat hak yang dirumuskan oleh Presiden
Amerika Serikat, Franklin D. Roosevelt pada permulaan Perang Dunia II. Hak-hak
yang disebut oleh Presiden Roosevelt terkenal dengan istilah The Four Freedoms (Empat Kebebasan).
Hak-hak tersebut antara lain.
1. Kebebasan
untuk berbicara dan menyatakan pendapat (freedom
of speech)
2. Kebebasan
beragama (freedom of religion)
3. Kebebasan
dari ketakutan (freedom from fear)
4. Kebebasan
dari kemelaratan (freedom from want)
Roosevelt
menyatakan bahwa untuk membahagiakan manusia, tidak cukup dengan memberikan
pengakuan hak-hak politik dan hak-hak yuridis saja. Hak-hak politik dan hak-hak
yuridis seperti hak atas kebebasan, hak menyatakan pendapat, hak untuk ikut
dalam pemilihan umum, dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law) tidak berarti apa-apa seandainya
kebutuhan manusia yang paling mendasar (basic
needs) seperti sandang, pangan, dan papan tidak dapat dipenuhi. Menurut
pendapat Roosevelt, hak asasi manusia juga harus mencakup bidang ekonomi,
sosial dan budaya.
Dimensi
baru hak-hak asasi manusia yang dirumuskan oleh Roosevelt itu kemudian menjadi
inspirasi dan bagian yang tidak dipisahkan dari Deklarasi Universal tentang Hak
Asasi Manusia (Declaration of Human
Rights). Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia tersebut kemudian
disetujui dan diumumkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948.
Sifat
hak-hak asasi manusia dapat dibedakan dalam beberapa pokok persoalan.
1. Hak-hak
asasi pribadi atau hak sipil (personal
rights). Hak ini meliputi kemerdekaan menyatakan pendapat, kebebasan
memeluk agama, kebebasan bergerak, kebebasan berpikir dan kebebasan untuk
melaksanakan ibadah.
2. Hak-hak
asasi ekonomi (property rights). Hak
ini meliputi hak untuk memiliki sesuatu, untuk menjual barang miliknya, hak
mengadakan perjanjian atau kontrak, dan hak untuk memilih pekerjaan. Hak-hak
tersebut harus memperhatikan peraturan perundangan yang berlaku.
3. Hak
untuk mendapatkan perlakuan yang sama dan sederajat dalam hukum dan
pemerintahan (rights of legal equality).
4. Hak-hak
asasi politik (political rights). Hak
ini meliputi hak untuk ikut serta dalam pemerintahan, hak untuk memilih dan
dipilih, hak untuk mendirikan partai politik, dan hak untuk mengadakan petisi.
5. Hak
untuk mendapatkan tata cara peradilan dan jaminan perlindungan (procedural rights). Instansi pemerintah
diwajibkan untuk mentaati tata cara dan peraturan-peraturan tertentu di dalam
melindungi HAM. Sebagai contoh adalah peraturan pemerintah dalam hal
penggeledahan dan peradilan.
6. Hak
asasi sosial dan kebudayaan (social and
cultural rights). Hak ini meliputi hak untuk memilih pendidikan dan hak untuk
mengembangkan kebudayaan yang disukainya.
Berikut
ini merupakan perumusan HAM yang terdapat dalam Deklarasi Universal tentang
HAM.
Kategori
HAM
|
Macam-macam
HAM
|
Hak yang
secara langsung memberikan gambaran kondisi minimum yang diperlukan individu
agar ia dapat mewujudkan watak kemanusiaannya.
|
1. Pengakuan atas martabat (Pasal
1)
2. Perlindungan atas kebutuhan
hidup (Pasal 2)
3. Jaminan atas kebutuhan hidup
(Pasal 3)
4. Terbebas dari perbudakan
(Pasal 4)
5. Perlindungan dari tindakan
sewenang-wenang
(Pasal 5)
6. Kesempatan menjadi warga
negara (Pasal 15)
|
Hak tentang perlakuan
yang seharusnya diperoleh manusia dari sistem hukum.
|
1. Persamaan di depan hukum
(Pasal 6)
2. Memperoleh pengadilan yang
adil (Pasal 10)
3. Asas praduga tak bersalah
(Pasal 11)
4. Hak untuk tidak diintervensi kehidupan
pribadinya (Pasal 12)
|
Hak yang
memungkinkan individu dapat melakukan kegiatan tanpa campur tangan pemerintah
dan memungkinkan individu ikut ambil bagian dalam mengontrol jalannya
pemerintahan. Hak ini lazimnya disebut sebagai hak sipil dan hak politik.
|
1. Kebebasan berpikir dan
beragama (Pasal 18)
2. Hak berkumpul dan berserikat
(Pasal 20)
3. Hak untuk ikut aktif dalam pemerintahan (Pasal 21)
|
Hak yang
menjamin terpenuhinya taraf minimal hidup manusia dan memungkinkan adanya
pengembangan kebudayaan. Hak ini disebut seagai hak sosial, ekonomi, dan
budaya.
|
1.Hak untuk mendapatkan makanan,
pekerjaan, dan pelayanan kesehataan (Pasal 22-25)
2.Hak untuk memperoleh pendidikan
dan mengembangkan kebudayaan (Pasal 26-29)
|
Rumusan HAM dalam UUD 1945 tercantum
dalam BAB X A. Hak Asasi Manusia yang tercantum dalam Bab X A antara lain.
Pasal
|
Isi Pasal
|
Pasal 28A
|
Setiap orang berhak untuk hidup
serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
|
Pasal 28B (1)
Pasal 28B (2)
|
Setiap orang berhak membentuk
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yag sah.
Setiap orang berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi.
|
Pasal 28C (1)
Pasal 28C (2)
|
Setiap orang berhak mengembangkan
diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan
memperoleh manfaat dari ilmu pengetahhuan dan teknologi, seni dan budaya demi
meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan umat manusia.
Setiap orang berhak memajukan
dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa, dan negaranya.
|
Pasal 28D (1)
Pasal 28D (2)
Pasal 28D (3)
Pasal 28D (4)
|
Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Setiap orang berhak untuk bekerja
serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan
kerja.
Setiap warga negara berhak
memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Setiap orang berhak atas status
kewarganegaraan.
|
Pasal 28E (1)
Pasal 28E (2)
Pasal 28E (3)
|
Setiap orang bebas memeluk agama
dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara
dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
Setiap orang berhak atas
kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan
hati nuraninya.
Setiap orang berhak atas
kebebasan berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
|
Pasal 28F
|
Setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala
jenis saluran yang tersedia.
|
Pasal 28G (1)
Pasal 28G (2)
|
Setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda
yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak
asasi.
Setiap orang berhak untuk bebas
dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan
berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
|
Pasal 28H (1)
Pasal 28H (2)
Pasal 28H (3)
Pasal 28H (4)
|
Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan.
Setiap orang berhak mendapat
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang
sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Setiap orang berhak atas jaminan
sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia
yang bermartabat.
Setiap orang berhak mempunyai hak
milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara
sewenang-wenang oleh siapapun.
|
Pasal 28I (1)
Pasal 28I (2)
Pasal 28I (3)
Pasal 28I (4)
Pasal 28I (5)
|
Hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk
tidak diperbuat, hak untuk diakui secara pribadi di hadapan hukum, dan hak
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Setiap orang berhak bebas dari
perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Identitas budaya dan hak
masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman peradaban.
Perlindungan, kemajuan,
penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara,
terutama pemerintah.
Untuk menegakkan dan melindungi
hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis maka
pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan.
|
Pasal 28J (1)
Pasal 28J (2)
|
Setiap orang wajib menghormati
hak asasi manusia orang lain dalam tata tertib kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan
yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
|
Secara operasional, macam-macam HAM
dirumuskan lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
sebagai berikut.
1. Hak
untuk hidup (Pasal 9)
2. Hak
berkeluarga dan melanjutkan keturunan (Pasal 10)
3. Hak
mengembangkan diri (Pasal 11-16)
4. Hak
memperoleh keadilan (Pasal 17-19)
5. Hak
atas kebebasan pribadi (Pasal 20-27)
6. Hak
atas rasa aman (Pasal 28-35)
7. Hak
atas kesejahteraan (Pasal 36-42)
8. Hak
turut serta dalam pemerintahan (Pasal 43-44)
9. Hak
wanita (45-51)
10. Hak
anak (Pasal 52-66)
B. Hambatan dan
Tantangan dalam Penegakan HAM di Indonesia
Penegakan HAM di Indonesia mengalami
berbagai hambatan dan tantangan. Upaya penegakan HAM di Indonesia dipengaruhi
oleh kondisi politik yang sedang terjadi pada masa tersebut. Dinamika penegakan
HAM di Indonesia dapat dibagi atas periode-periode waktu berikut ini.
1.
Periode 1945-1959
Undang-Undang Dasar 1945 yang
terbentuk pada tanggal 18 Agustus 1945 telah mencantumkan perihal hak asasi
manusia. Akan tetapi, hak-hak asasi tersebut masih terbatas jumlahnya dan
dirumuskan secara singkat. Hal ini terjadi karena naskah Undang-Undang Dasar
1945 disusun pada akhir masa pendudukan Jepang dan dalam suasana mendesak.
Walaupun demikian, pemikiran tentang HAM terus mengalami perkembangan yang
berarti, terutama di kalangan para pemimpin bangsa.
Pemikiran HAM pada periode 1950-1959 mendapatkan momentum
yang sangat baik. Hal tersebut dikarenakan suasana kebebasan yang menjadi
semangat demokrasi liberal atau demokrasi parlementer mendapatkan perhatian
dari pemimpin maupun masyarakat. Menurut Bagir Manan, terdapat lima aspek yang
menandai hal tersebut, antara lain:
a. Semakin banyak tumbuh partai-partai politik
dengan beragam ideologinya.
b. Kebebasan pers sebagai salah satu pilar
demokrasi betul-betul menikmati kebebasannya.
c. Pemilihan umum sebagai pilar lain
dari demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan, fair (adil), dan
demokratis.
d. Parlemen atau DPR sebagai representasi dari
kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja sebagai wakil rakyat dengan melakukan
kontrol yang efektif terhadap eksekutif.
e.
Wacana dan pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan
tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan. Dalam perdebatan di
Konstituante misalnya, berbagai partai politik yang berbeda aliran dan ideologi
sepakat tentang substansi HAM universal dan pentingnya HAM masuk dalam UUD
serta menjadi bab tersendiri.
2.
Periode 1959-1966
Dalam masa Demokrasi Terpimpin
(1959-1966), telah terjadi penyimpangan terhadap UUD 1945 untuk kepentingan
penguasa. Pada periode ini, sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem
demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin lahir sebagai reaksi atas penolakan
Soekarno terhadap sistem demokrasi parlementer. Pada sistem ini, kekuasaan
terpusat dan berada di tangan Presiden. Akibat dari sistem demokrasi terpimpin,
presiden melakukan tindakan inkonstitusional, baik pada tataran suprastruktur
politik maupun dalam tataran infrastruktur politik. Pada periode ini terjadi
pemasungan terhadap hak sipil dan hak politik, seperti hak untuk berserikat
berkumpul dan mengeluarkan pikiran dengan tulisan.
3.
Periode 1966-1998
Periode 1966-1998 ditandai dengan
berkuasanya Orde Baru. Salah satu tujuan dari penegakan Orde Baru adalah
melaksanakan hak-hak asasi yang tercantum dalam UUD 1945. Pada masa awal
periode ini, telah diadakan berbagai seminar tentang HAM. Salah satu seminar
tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967. Seminar ini merekomendasikan gagasan
tentang perlunya pembentukan pengadilan HAM dan pembentukan Komisi dan
Pengadilan HAM untuk wilayah Asia. Selanjutnya pada tahun 1968 diadakan Seminar
Nasional Hukum II yang merekomendasikan perlunya hak uji materiil (judicial review) untuk melakukan
perlindungan terhadap HAM.
Dalam
rangka pelaksanaan TAP MPRS Nomor XIV/MPRS 1966, MPRS melalui Panitia Ad Hoc IV
telah menyiapkan rumusan yang akan
dituangkan dalam Piagam tentang Hak-Hak Asasi Manusia dan Hak-Hak serta
Kewajiban Warga Negara. Akan tetapi, terjadi kemacetan dalam pembicaraan di
sidang MPRS ini. Dengan demikian, perumusan dan pengaturan hak-hak asasi
seperti yang ditentukan pada tahun 1945 tidak mengalami perubahan.
Pada awal tahun 1970-an sampai
periode akhir 1980-an, persoalan HAM di Indonesia mengalami kemunduran. HAM
tidak lagi dihormati, dilindungi, dan ditegakkan. Pemikiran pemerintahan pada
masa ini sangat diwarnai oleh sikap penolakan pemerintah terhadap HAM.
Pemerintah pada periode ini bersifat defensif dan represif. Sikap defensif
pemerintah tercermin dalam ungkapan bahwa HAM adalah produk pemikiran Barat
yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam
Pancasila. Selain itu, sikap defensif pemerintah ini berdasarkan pada anggapan
bahwa isu HAM seringkali digunakan oleh negara-negara Barat untuk memojokkan
negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia.
Meskipun pemerintah pada periode
ini cenderung untuk mengabaikan jaminan pelaksanaan HAM, pemikiran HAM terus
berkembang. Pemikiran mengenai HAM di kalangan masyarakat dimotori oleh Lembaga
Swadaya Masyarakat dan masyarakat akademisi yang menaruh perhatian terhadap
penegakan HAM. Upaya yang dilakukan oleh masyarakat adalah melalui pembentukan
jaringan dan lobi internasional terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi,
seperti kasus Tanjung Priok, kasus DOM Aceh, dsb.
Upaya yang dilakukan oleh masyarakat
nampak memperoleh hasil yang menggembirakan. Terjadi pergeseran strategi
pemerintah dari represif dan defensif ke strategi akomodatif terhadap tuntunan
yang berkaitan dengan penegakan HAM. Salah satu sikap akomodatif pemerintah
terhadap tuntutan penegakan HAM adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM). Komnas HAM dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 50 Tahun 1993
tertanggal 7 Juni 1993. Lembaga ini bertugas untuk memantau dan menyelidiki
pelaksanaan HAM. Selain itu, lembaga ini juga dapat memberi pendapat,
pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal pelakasanaan HAM. Komnas HAM
bertujuan untuk membantu pengembangan kondisi-kondisi yang kondusif bagi
pelaksanaan HAM yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 (termasuk hasil
amandemen UUD 1945), Piagam PBB, Deklarasi Universal HAM, Piagam Madinah,
Khutbah Wada’, Deklarasi Kairo, dan Deklarasi atau perundang-undangan lainnya
yang terkait dengan penegakan HAM.
4.
Periode 1998- Sekarang
Pergantian rezim pemerintahan pada
tahun 1998 ini memberikan dampak yang besar pada pemajuan dan perlindungan HAM
di Indonesia. Pada periode ini mulai dilakukan pengkajian terhadap beberapa
kebijakan pemerintah Orde Baru yang berlawanan dengan pemajuan dan perlindungan
HAM. Selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pemberlakuan HAM. Selain itu, pengkajian dan ratifikasi
terhadap instrumen HAM Internasional semakin ditingkatkan. Hasil dari
pengkajian tersebut menunjukkan banyaknya norma dan ketentuan hukum nasional
yang terkait dengan penegakan HAM diadopsi dari hukum dan instrumen
internasional di bidang HAM.
Strategi
penegakan HAM pada periode Orde Reformasi dilakukan melalui dua tahap, yaitu:
1. Tahap status penentuan (prescriptive status)
2. Tahap penataan aturan secara
konsisten (rule consistent behavior).
Pada
tahap status penentuan telah ditetapkan beberapa ketentuan perundang-undangan
tentang HAM, seperti amandemen konstitusi negara (Undang-Undang Dasar 1945),
Ketetapan MPR (TAP MPR), undang-undang, peraturan pemerintah, dan ketentuan
perundang-undangan lainnya.
Pada masa
pemerintahan Habibie, penghormatan dan pemajuan HAM mengalami perkembangan yang
sangat signifikan. Hal tersebut ditandai oleh adanya TAP MPR Nomor
XVII/MPR/1998 tentang HAM dan disahkannya sejumlah konvensi HAM, yaitu:
1. Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan
kejam lainnya dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
2. Konvensi penghapusan segala bentuk
diskriminasi rasial dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999.
3. Konvensi ILO Nomor 87 tentang kebebasan
berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi dengan Keppres Nomor 83
Tahun 1998.
4. Konvensi ILO Nomor 105 tentang penghapusan
kerja paksa dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1999.
5. Konvensi ILO Nomor 111 tentang diskriminasi
dalam pekerjaan dan jabatan dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1999.
6. Konvensi ILO Nomor 138 tentang usia minimum
untuk diperbolehkan bekerja dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999.
Selain itu, dicanangkan pula program
Rencana Aksi Nasional HAM pada 15 Agustus 1998 yang didasarkan pada empat
pilar, yaitu:
1. persiapan pengesahan perangkat internasional
di bidang HAM.
2. desiminasi informasi dan pendidikan bidang
HAM.
3. penentuan skala prioritas pelaksanaan HAM.
4. pelaksanaan isi perangkat internasional di
bidang HAM yang telah diratifikasi melalui perundang-undangan nasional.
Garis besar ketentuan
HAM yang diatur dalam amandemen kedua UUD 1945 selanjutnya dielaborasi menjadi
ketentuan yang lebih rinci di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia. Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, telah ditetapkan
pula Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Pengadilan HAM diberi tugas dan wewenang khusus untuk memeriksa serta memutus
perkara pelanggaran HAM yang termasuk
kategori berat.
Keseluruhan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
menyangkut HAM merupakan pintu pembuka bagi strategi selanjutnya, yaitu tahap
penataan aturan secara konsisten. Pada tahap ini, diupayakan mulai tumbuh
kesadaran penghormatan dan penegakan HAM, baik di kalangan aparat pemerintah
maupun masyarakat. Penataan aturan secara konsisten memerlukan beberapa
persyaratan, yaitu adanya demokrasi dan supremasi hukum. Menurut Bagir Manan,
demokrasi dan pelaksanaan prinsip-prinsip negara yang didasarkan atas hukum
merupakan instrumen bahkan prasyarat bagi jaminan perlindungan dan penegakan HAM. Oleh karena itu, hubungan
antara HAM, demokrasi, dan negara harus dilihat sebagai hubungan keseimbangan
yang simbiosis mutualistik.
Dari
uraian perkembangan HAM di atas, dapat disimpulkan beberapa hambatan dan
tantangan dalam penegakan HAM di Indonesia, yaitu sebagai berikut:
1. Ketentuan HAM yang tercantum dalam UUD 1945
masih sederhana. Pengaturan ini memerlukan political
will dari pemerintah agar dapat berlaku secara efektif.
2. Masih adanya persepsi bahwa HAM merupakan
produk pemikiran Barat, individualistik, dan tidak sesuai dengan kepribadian
bangsa. Persepsi ini seharusnya diubah melalui berbagai pendidikan dan
penyebaran informasi yang komprehensif tentang HAM. Masyarakat perlu menyadari
nilai-nilai universalitas dalam HAM. Masyarakat perlu mengetahui bahwa HAM
merupakan kebutuhan dasar manusia yang perlu diperjuangkan, dihormati, dan
dijunjung tinggi oleh setiap manusia. Dengan demikian, akan tumbuh kesadaran
penghormatan dan penegakan HAM baik di kalangan aparat pemerintah maupun
masyarakat.
3. Terdapat kegamangan dari pemerintah yang
sekarang berkuasa untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang terkait dengan
kejahatan kemanusiaan di masa lalu. Kondisi tersebut disebabkan karena saat ini
merupakan masa transisi pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi. Selain
itu, masih kuatnya pengaruh para pejabat publik yang merupakan bagian dari orde
sebelumnya juga menjadi faktor penting dalam upaya penegakan HAM. Sehingga sekalipun DPR telah mengesahkan Undang-Undang
tentang HAM, penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu masih menjadi
tantangan yang cukup berat bagi pemerintah yang sekarang berkuasa.
4. Adanya indikasi ketidakberpihakan pemerintah
pada rakyat dalam proses pemulihan perekonomian negara. Berbagai kebijakan
pemerintah sekarang ini terpaksa diambil meskipun beresiko mengorbankan hak-hak
rakyat yang fundamental. Sebagai contoh adalah kebijakan untuk menaikkan harga
BBM, yang diikuti dengan kenaikan harga kebutuhan pokok dan transportasi.
5. Kondisi rakyat Indonesia yang terdiri atas
beragam etnik, suku bangsa, bahasa daerah, agama, keadaan sosial, dan ekonomi
yang berbeda-beda merupakan tantangan untuk saling membina toleransi dan saling
menghormati hak asasi orang lain.
C. Pelanggaran HAM dan Proses Peradilan HAM
Internasional
1. Pengertian Pelanggaran HAM
Pelanggaran
terhadap HAM diartikan secara berbeda oleh berbagai penulis. Di dalam wacana
tradisional, pelanggaran HAM dilihat sebagai tanggung jawab Negara di dalam
konteks kewajibannya terhadap warga negara. Konferensi Dunia tentang Hak Asasi
Manusia di Wina pada tahun 1993 mengembangkan satu perspektif yang lebih luas
atas HAM dan juga pada pelanggaran HAM. Pengakuan atas HAM yang terdiri dari
hak-hak sipil, budaya, ekonomi, politik, dan sosial ditujukan sebagai tanggung
jawab dari berbagai pihak, bukan hanya negara.
Pasal
1 butir 6 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
memberikan definisi pelanggaran HAM sebagai berikut.
“Pelanggaran hak
asasi manusia adalah perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat
negara baik disengaja maupun tidak sengaja atau kelalaian yang secara melawan
hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi
manusia seseorang atau kelompok orang
yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan
tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan
mekanisme hokum yang berlaku”
Dengan
demikian, pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan, baik
dilakukan oleh individu maupun institusi negara atau institusi lainnya terhadap
hak asasi individu lain. Tindakan tersebut dilakukan tanpa ada dasar atau
alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijakannya.
Menurut
Arahan Mastricht (Mastrich Guidelines),
pelanggaran HAM terjadi lewat:
1. Acts of commission
(tindakan untuk melakukan) oleh pihak negara atau pihak lain yang tidak diatur
secara memadai oleh negara.
2. Acts of ommission
(tindakan untuk tidak melakukan tindakan apa pun) oleh negara.
Pelanggaran
hak asasi manusia oleh pihak negara, baik berupa Acts of commission maupun Acts
of omission, dapat dilihat sebagai kegagalan negara untuk memenuhi tiga
jenis kewajiban yang berbeda, yaitu:
1.
Kewajiban
untuk menghormati
Kewajiban menghormati
menuntut negara untuk tidak bertindak apapun yang melanggar integritas individu
atau kelompok. Contoh dari tindakan ini adalah pembunuhan di luar hokum (dalam
pelanggaran atas kewajiban menghormati hak-hak individu untuk hidup), penahanan
yang tidak memenuhi prosedur (dalam pelanggaran atas kewajiban untuk menghormati
hak-hak individu untuk bebas), pelarangan serikat buruh (dalam pelanggaran atas
kewajiban untuk menghormati kebebasan untuk berserikat), dan pembatasan atas
praktik dari satu agama tertentu (dalam pelanggaran atas kewajiban untuk
menghormati hak-hak kebebasan beragama individu).
2.
Kewajiban
untuk melindungi
Kewajiban untuk
melindungi menuntut negara dan aparatnya melakukan tindakan yang memadai guna
melindungi warga dari pelanggaran hak-hak individu atau kelompok. Contoh dari
jenis pelanggaran inni adalah kegagalan untuk bertindak ketika satu kelompok
tertentu menyerang kelompok lain.
3.
Kewajiban
untuk memenuhi
Kewajiban untuk
memenuhi menuntut negara melakukan tindakan yang memadai untuk menjamin setiap
orang di dalam yuridiksinya mendapatkan sarana yang diperlukan untuk
melaksanakan kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh adalah kegagalan negara
untuk memenuhi sistem perawatan kwsehatan dasar dan kegagalan negara untuk
mengimplementasikan sistem pendidikan pada tingkat primer unuk setiap warga
negara.
Satuan-satuan
bukan negara dapat juga terlibat sebagai pelaku kejahatan pelanggaan hak asasi.
Contoh dari pelanggaran HAM yang dilakukan oleh satuan bukan negara adalah:
1. Pembunuhan
penduduk sipil tentara pemberontak,
2. Pengusiran
komunitas yang dilakukan oleh perusahaan transnasional,
3. Serangan
bersenjata oleh salah satu pihak melawan pihak yang lain,
4. Serangan
fisikal mendadak dari pegawai pribadi melawan para pemprotes.
Pelanggaran
HAM dikelompokkan menjadi dua bentuk, yaitu pelanggaran HAM berat dan pelanggaran
HAM ringan. Pelanggaran HAM berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan (pasal 7 Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia). Bentuk pelanggaran HAM ringan
adalah selain dari kedua bentuk pelanggaran HAM berat itu. Pelanggaran HAM
ringan seringkali dimasukkan dalam kategori kejahatan biasa (ordinary crime). Pelanggaran HAM
dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary
crimes).
Dalam
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia, dinyatakan bahwa:
“pelanggaran hak
asasi manusia yang berat merupakan “extraordinary crimes” dan berdampak secara
luas baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan tindak pidana
yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta menimbulkan kerugian
baik materiil maupun immateriil yang merupakan perasaan tidak aman baik
terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam
mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketentraman,
keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia”
Kejahatan
genosida adalah setiap perbuatan yang
dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau
sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
a. Membunuh
anggota kelompok,
b. Mengakibatkan
penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok,
c. Menciptakan
kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik
seluruh atau sebagainya,
d. Memaksakan
tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok,
e. Memindahkan
secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Kejahatan
terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian
dari serangan yang meluas atau sistematik. Serangan tersebut ditunjukkan secara
langsung kepada penduduk sipil dan dapat berupa:
a. Pembunuhan,
b. Pemusnahan,
c. Perbudakan,
d. Pengusiran
atau pemindahan penduduk secara paksa,
e. Perampasan
kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain seccara sewenang-wenang yang
melanggar (asas-asas) ketentuan hukum pokok internasional,
f. Penyiksaan,
g. Pemerkosaan,
perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan
atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang
setara,
h. Penganiayaan
tterhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan
paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau
alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang secaa
hukum internasional,
i.
Penghilangan orang
secara paksa,
j.
Kejahatan apartheid.
Pelanggaran
HAM dilakukan negara terhadap warganya juga terjadi di Indonesia. Kasus-kasus
penyiksaan dalam proses penyidikan merupakan salah satu contoh pelanggaran HAM
yang dilakukan aparat negara terhadap warga negara. Di era Orde Baru, ketika
militer mempunyai kekuasaan yang nyaris tak terbatas, Indonesia banyak diwarnai
oleh kasus kekerasan yang dilakukan oleh militer.
Kasus
Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh pada 1990-an adalah wujud
kesewenang-wenangan militer terhadap rakyat. Selain itu, masih banyak kasus
pelanggaran HAM yang dilakukan negara terhadap warga negara, seperti penembakan
terhadap empat warga Nipah yang ingin mempertahankan tanahnya, kasus penyiksaan
terhadap warga transmigran di Sei Lapan, dan kasus Kedung Ombo. Fenomena
pembredelan terhadap media massa yang dianggap vokal di masa Orde Baru juga
merupakan salah satu bentuk pengekangan kebebasan warga negara dalam
menyalurkan aspirasinya di muka umum. Berbagai catatan tersebut merupakan
beberapa contoh peristiwa pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara terhadap
warga negara yang seharusnya dilindungi.
2.
Proses
Peradilan HAM Internasional
Pelanggaran
HAM terjadi di banyak negara. Keadaan ini menimbulkan persoalan yang telah
melampaui batas-batas wilayah negara. Pelanggaran HAM telah menjadi persoalan
internasional yang memerlukan penanganan secara efektif.
Sejalan
dengan kebutuhan untuk menyelesaikan berbagai sengketa internasional, PBB
membentuk The Internasional Court of
Justice (ICJ) atau Komisi Hukum internasional. The Internasional Court of Justice berkedudukan di Den Haag. The Internasional Court of Justice bertugas
menyelesaikan sengketa-sengketa antara negara atau perkara-perkara individu.
Pada perkara individu yang berkaitan dengan pelanggaran HAM berat, penyelesaian
dilakukan melalui Internasional Criminal
Court (ICC).
Gagasan
mendirikan ICC lahir pada tahun 1990-an. Upaya membentuk ICC tersebut
dikarenakan adanya praktik penyelesaian kejahatan perang yang dianggap sebagai
kejahatan HAM berat. Draf usulan pembentukan ICC dibuat oleh Komisi Hukum
Internasional (Internasional Law
Commission/ILC). Draf akhir ICC diserahkan ILC pada Majelis UMUM PBB pada
tahun 1994. ICC dibentuk berdasarkan Statuta Roma1998. ICC berdiri di Den Haag,
Belanda pada tanggal 1 Juli 2002.
Selain
itudua peralihan internasional permanen tersebut, PBB pernah membentuk
pengadilan ad hoc untuk mengadili
kejahatan perang yang terjadi di bekas negara Yuguslavia (1992) dan Rwanda
(1994). Pengadilan ad hoc tersebut
dibentuk didasarkan pada kenyataan adanya tuntutan mendesak untuk segera
mengakhiri perrtikaian yang terjadi di kawasan tersebut. Akan tetapi, instrumen
hukum internasional yang ada tidak memadai. The
Internasional Court of Justice tidak berwenang untuk tidak menyelesaikan
sengketa antarindividu sebagai pihak yang diperiksa. Sementara itu, ICC masih
belum berdiri. Oleh karena kebutuhan mendesak tersebut, PBB membentuk
pengadilan ad hoc.
Tidak
semua kejahatan yang melintasi batas negara dituntut dan diperiksa melalui The Internasional Court of Justice (ICJ)
dan Internasional Criminal Court
(ICC). Kejahatan internasional dan transnasional yang tidak dituntut dan
diperiksa melalui lembaga peradilan internasional tersebut antara lain kejahatan
terorisme dan penjualan obat terlaramg. Meski dianggap sebagai kejahatan
transnasional, terorisme dapat dituntut dan dihukum berdasarkan peradilan dan
undang-undang masing-masing negara. Dalam pembahasan Statuta Roma, mayoritas
negara peserta menghendaki terorisme dan penjualan obat-obat terlarang dan
menjadi perkara yang dapat dituntut dan diperiksa oleh Internasional Criminal Court. Akan tetapi, Amerika Serikat dan
beberapa negara menolak keinginan tersebut. Akhirnya, terorisme dan penjualan
obat terlarang tidak masuk menjadi bagian dari Statuta Roma dan tidak dapat
diperkarakan dalam Internasional Criminal
Court.
Di Indonesia, persoalan HAM sudah dimasukkan
dalam Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, diberlakukannya pula Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang peradilan HAM. Hukum Indonesia mengenai HAM sudah tunduk
terhadap hukum internasional HAM. Hal ini menunjukkan bahwa sejak saat itu
pemerintahan dan bangsa Indonesia sudahmengakui kesepahaman yang telah dibangun
masyarakat internasional. Kesepahaman tersebut berkisar pada definisi dan
prosedur dalam menghormati dan menjunjung
tinggi HAM, termasuk pelaksanaannya dalam konteks kehidupan politik dan
penegakan hukum di Indonesia.
D. Konsekuensi
Jika Negara Tidak Menegakkan HAM
Perdebatan
mengenai siapa yang bertanggung jawab dalam menegakkan perjuagan, perlindungan,
dan pemenuhan HAM sampai kini menjadi wacana yang tidak berkualitas yang tidak
berkesudahan. Dalam kaitan dengan persoalan tersebut terdapat dua pandangan.
Pandangan
yang pertama bahwa yang harus bertanggung jawab memajukan HAM adalah Negara.
Negara dibentuk sebagai wadah untuk kepentingan kesejahteraan rakyatnya. Rakyat
perlu diberikan pendidikan, terutama masalah yang berkaitan dengan HAM. Negara yang tidak memfasilitasi rakyat
melalui pendidikan HAM, berarti Negara tersebut telah mengabaikan amanat
rakyat. Negara yang memilki tanggung jawab dalam memberikan jaminan HAM. Oleh
karena itu, deklarasi PBB tentang HAM yang dikenal dengan Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia, beberapa kovenan, hukum perjanjian internasional, Piagam
Madinah, dan Deklarasi Kairo harus diletakkan sebagai norma hukum internasional
yang mengatur bagaimana negara-negara di dunia yang menjamin hak-hak
individunya.
Setiap
warga Negara mempunyai hak asasi, baik yang bersifat non derogable rights (hak
yang dalam keadaan darurat perang harus dilindungi) maupun derograble rights
(hak yang dalam keadaan normal harus dilindungi). Hak-hak inilah yang harus
dijamin realisasinya oleh Negara. Apabila Negara tidak mampu melindungi HAM
warga negaranya, Negara yang bersangkutan dengan sendirinya akan kehilangan
legitimasi rakyatnya. Dengan demikian, analisis terhadap pelanggaran HAM selalu
berada dalam wilayah pelanggaran HAM oleh negara terhadap rakyat. Pelanggaran
HAM oleh negaranya terhadap rakyat disebut pelanggaran HAM secara vertikal.
Pelanggaran ini tidak hanya berupa pelanggaran HAM secara langsung oleh negara,
tetapi juga berupa pelanggran HAM secara tidak langsung. Pelanggaran tidak
langsungterjadi apabila negara membiarkan terjadinya pelanggaran HAM dan tidak
melakukan pemenuhan HAM. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
berpandangan bahwa tanggung jawab perlindungan, pemajuan, penghormatan, dan
pemenuhan HAM ada pada pemerintah.
Pandangan
kedua menyatakan bahwa tanggung jawab pemajuan. Penghormatan, dan perlindungan
HAM tidak saja dibebankan kepada negara, melainkan juga kepada warga negara.
Dengan demikian , negara dan individu sama-sama memiliki tanggung jawabterhadap
pemajuan, penghormatan, dan perlindungan HAM. Oleh karena itu, pelanggaran HAM
sebenarnya tidak saja dilakukan oleh negara kepada rakyatnya, melainkan juga
oleh rakyat. Pelanggaran ini disebut sebagai pelanggaran HAM secara horisontal.
Contoh bentuk pelanggaran HAM ini antara lain penembakan warga oleh sipil
bersenjata, penganiayaan buruh oleh majikan, perampokan, dan ledakan bom bunuh
diri ditempat umum oleh para teroris.
Nickel
mengatakan tiga alasan mengapa warga
negara memiliki tanggung jawab dalam penegakan dan perlindungan HAM
alasan-alasan tersebut antara lain.
1. Sejumlah
besar persoalan HAM tidak hanya melibatkan aspek pemerintah, tetapi juga
kalangan swasta atau kalangan di luar negara, dalam hal ini warga negara.
2. Hak
asasi manusia bersandar pada pertimbangan-pertimbangan normatif agar umat
manusia diperlakukan sesuai dengan martabat kemanusiaannya.
3. Warga
negara memiliki tanggung jawab atas dasar prinsip-prinsip demokrasi. Setiap
warga negara memiliki kewajiban untuk ikut mengawasi tindakan pemerintah. Dalam
masyarakat yang demokratis, sesuatu yang menjadi kewajiban pemerintah juga
menjadi kewajiban warga negara.
Banyaknya
pelanggaran HAM menunjukkan masih lemahnya sistem penegakan hukum dan lemahnya political will pemerintah dalam
mengimplikasikan norma-norma HAM. Kekuasan yang dimiliki oleh negara justru
sering dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan.
Rendahnya tingkat kesadaran hukum dari warga masyarakat juga menjadi sebab
terjadinya pelanggaran HAM.
Di
negara-negara otoriter, perlindungan maupun penegakan HAM hampir-hampir tidak
ada lagi warga negara. Banyak terjadi pelanggaran HAM berat dinegara-negara
tersebut, misalnya.
1. Di
negara-negara komunis terjadi pembantaian terhadap pemeluk agama serta
penghancuran rumah ibadah maupun kitab-kitab suci.
2. Rezim
Pol Pot Khmer Merah dalam rangka mewujudkan ideologinya telah berhasil membunuh
lebih dari satu juta orang (dari delapan juta penduduk Kamboja).
3. Pembantaian
lebih kurang 6 juta orang Yahudi ketika Rezim fasis berkuasa di Jerman.
4. Stalin
menyebabkan lebih dari 10 juta petani Rusia mati dalam jangka waktu tiga tahun
demi perwujudan ideology komunis.
5. Pembantaian,
penculikan, serta penyiksaan penduduk sipil terhadap orang-orang yang tidak
sepaham oleh diktator militer.
Ketika
kesadaran HAM tumbuh di kalangan warga negara, banyak negara-negara totaliter
kehilangan legitimasinya. Pemerintah totaliter dapat jatuh dan digantikan
dengan rezim yang lebih demokratis. Sebagai contoh adalah runtuhnya
negara-negara komunis di Eropa Timur dan negara diktator militer di Amerika
latin (Argentina, Bolivia, Paraguay, Uruguay) pada tahun 1980-an. Di Filipina,
gerakkan kekuatan rakyat dengan damai telah menggulingkan kediktatoran Marcos
tahun 1988.
Di
Irak, pemerintah Saddam Husein berhasil dijatuhkan melalui invansi militer
dilakukan oleh tentara Amerika Serikat dan sekutunya. Alasan pemberlakukan
invasi ini mulanya adalah adanya tuduhan bahwa pemerintah Saddam Husein telah
menyembunyikan senjata nuklir. Akan tetapi, dalam perkembangannya banyak alasan
lain yang bermunculan. Di antaranya adalah masalah pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh pemerintah Saddam Husein. Pemerintah di bawah Saddam Husein
dituduh telah melakukan pelanggaran HAM dengan melakukan pembunuhan secara massal
tehadap kaum Syiah. Saddam Husein dan sebelas pejabat senior Partai Baath saat
ini tengah menjalani proses pengadilan di Pengadilan Khusus Irak (IST). Keadaan
di Irak sendiri tidak membaik setelah Saddam Husein berhasil ditangkap.
Serangkaian aksi bom bunuh diri yang terjadi di Irak telah memperpanjang daftar
hitam pelanggaran HAM di kawasan Timur Tengah.
Indonesia sekarang ini
sedang dalam masa transisi politik. Sejak gerakan reformasi direncanakan, satu
hal yang harus dituntaskan dalam masa transisi politik adalah melakukan
penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lalu. Pada awal
era reformasi, di kalangan masyarakat Indonesia telah muncul tuntutan agar para
pelanggar HAM berat diadili. Tuntutan itu mengarah kepada berbagai kasus, misalnya
kasus Trisakti (12 Mei 1998), Semanggi I (13 November 1998), Semanngi II (22-24
September 1999). Kasus-kasus lain yng juga dituntut untuk diselesaikan adalah
kasus pelanggaran HAM berat Tanjung Priok (12 September 1984), kasus
pelanggaran HAM berat di Aceh semasa penerapan kebijakan Daerah Operasi Militer
(DOM) pada tahun 1989-1999, dan kasus pelanggaran HAM berat bagian di timor timur
dalam wilayah hokum liquica, Dili, dan Suai.
E. Sanksi Internasional
Atas Pelanggaran HAM
Strake berpendapat bahwa rumusan
peraturan dalam hukum internasional untuk melindungi hak-hak asasi tidak
berjalan dengan efektif. Di Eropa telah didirikan suatu badan administratif
internasional dan suatu pengadilan internasional yang bertujuan untuk
melindungi hak-hak asasi, yaitu Komisi Eropa untuk Hak-Hak Asasi dan Pengadilan
Eropa untuk Hak-Hak Asasi. Akan tetapi, kedua organisasi ini beroperasi di
bawah pembatasan- pembatasan yurisdiksional dan prosedural. Organisasi ini
hanya berkenaan dengan sejumlah kecil negara-negara yang telah menerima
kompetensi organisasi tersebut.
Dalam perkembangannya telah lahir
instrumen hukum yang dapat menjamin terlaksanya HAM secara internasional.
Berikut ini adalah beberapa instrumen-instrumen utama yang telah disahkan untuk
menyatakan atau menjamin norma hak-hak asasi:
1. The
Universal Declaration of Human Right (1948)
2. International
Bill of Human Right (1966)
3. International
Covenant on Economic, Social and Culture Rights atau kovenan internasional
tentang hak ekonomi, sosial, dan budaya.
4. International
Covenant on Civil and Political Rigths atau kovenan internasional tentang hak
sipil dan politik.
5. Optional
Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights atau
protokol mengenai kovenan internasional tentang hak sipil dan hak politik.
Deklarasi
Wina 1993 menyebutkan adalah kewajiban negara untuk menegakkan HAM. Deklarasi
Wina menganjurkan pemerintah untuk memasukkan standar-standar yang terdapat
dalam instrumen-instrumen hak asasi internasional ke dalam hukum nasional.
Proses mengadopsi dan menetapkan pemberlakuan suatu instrumen HAM menjadi hukum
nasional ini yang disebut sebagai ratifikasi. HAM bersumber pada nilai
kemanusiaan yang universal. Deklarasi, konvensi, dan perjanjian internasional
hanya merumuskan kembali apa yang telah menjadi nilai kemanusiaan selama ini.
Berbagai
instrumen hukum internasional yang telah
dijabarkan di atas merupakan ketentuan-ketentuan yang tidak mengikat negara.
Akan tetapi, instrumen hukum internasional di atas merupakan rumusan standar
tentang hak asasi internasional yang dianjurkan untuk dimasukkan kedalam
peraturan perundang-undangan secara nasional agar dapat berlaku secara efektif.
Meskipun di Eropa dan Amerika perangkat tersebut telah dilengkapi dengan adanya
pengadilan HAM, namun yurisdiksi pengadilan tersebut sangat terbatas pada
negara-negara yangmengakui yurisdiksi pengadilan internasional tersebut. Dengan
demikian, pengenaan sanksi terhadap pelanggaran HAM diutamakan kepada hukum
nasional negara masing-masing. Apabila dari pengadilan nasional tidak diperoleh
keputusan yang dianggap adil, negara atau subyek hukum internasional lainnya
yang mengaku yurisdiksi pengadilan internasional dapat mengajukannya ke
pengadilan internasional. Sanksi terhadap pelanggaran HAM ringan diserahkan
kepada hukum nasional negara masing-masing. Sedangkan untuk perkara individu
yang berkaitan dengan pelanggaran HAM berat, penyelesaian dilakukan melalui International Criminal Court (ICC) atau
Mahkamah Pidana Internasional.
Contoh
pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi antara lain :
·
Runtuhnya Federasi
Yugoslavia (1992) melahirkan perang saudara diantara bekas negara bagiannya,
yaitu Kroasia, Slovania, Serbia, dan Bosnia-Herzegovania. Selama kurun waktu
1992-1995, pasukan Serbia telah melakukan pembersihan etnik (etnic cleansing). Pembersihan titik
etnik dilakukan terhadap warga sipil muslim di Bosnia ( di Saravejo) dan
daerah-daerah lain serta di Kroasia yang ingin melepaskan diri dari Serbia
setelah bubarnya negara federasi Yugoslavia. Tidak kurang 700.000 warga sipil
telah disiksa dan dibunuh dengan kejam. Beberapa nama yang dianggap
bertanggungjawab atas kejahatan perang tersebut antara lain Stanislav Galic,
Gojko Jankovic, Janco Janjic, Dragon Zelenovic, Karadzic, dan Ratko Mladic.
·
Pada tahun 1994,
pembersihan etnis terjadi di Rwanda. Dalam kurun tiga bulan, 500.000 sampai 1
juta orang etnis Hutu dan Tutsi telah terbunuh. Pemeritah Rwanda
bertanggungjawab atas pembunuhan tersebut.
·
Pemerintahan Nazi
Jerman bertanggungjawab atas pembantaian enam juta etnis Yahudi. Pembantaian
dilakukan dalam kurun waktu 1930-1939.
F. Proses
Penegakkan HAM di Indonesia
Secara normatif, penegakkan HAM di
Indonesia mengacu dalam peraturan perundang-undangan. Dalam peraturan
perundang-undangan RI terdapat empat bentuk hukum tertulis yang memuat aturan
tentang HAM, yaitu.
1. Undang-undang
Dasar Negara (UUD 1945).
2. Ketetapan
MPR (TAP MPR).
3. Undanag-undang.
4. Peraturan
pelaksanaan perundang-undangan, seperti peraturan pemerintah, keputusan
presiden, dan peraturan pelaksana lainnya.
Peraturan
HAM dalam Ketetapan MPR dapat dilihat dalam TAP MPR Nomor XVII Tahun 1998
tentang Pandangan dan Sikap Bangsa Indonesia terhadap HAM dan Piagam HAM
Nasional serta TAP MPR Nomor VIII/MPR/2000 tentang Laporan Tahunan
Lembaga-Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Tahun 2000. Pengaturan HAM juga dapat dilihat dalam
berbagai undang-undang dan peraturan pemerintah yang pernah dikeluarkan oleh
pemerintah Indonesia. Undanag-undang dan peraturan pemerintah tersebut antara
lain.
Undang-Undang
|
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang
Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam,
Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat.
|
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
|
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tantang Kebebasan
Menyatakan Pendapat
|
Undang-Undang Nomor 19 Tahhun 1999 tentang
Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 105 tentang Penghapusan Kerja secara Paksa.
|
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang
Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 138
tentang Usia Minimum bagi pekerja.
|
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1999 tentang
Ratifikasi Konvensi ILO tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan.
|
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1999 tentang
Pencabutan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1963 tentang Tindak Pidana Subversi.
|
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang
Ratifikasi Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi.
|
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia.
|
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
|
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan
HAM.
|
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi.
|
Peraturan
Pemerintah dan Keputusan Presiden
|
Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 tahun 1999 tentang Pengadilan HAM.
|
Keputusan Presiden (Keppres)
Nomor 181 tahun 1998 tentang Pendirian Komisi Nasional Penghapusan Kekerasan
terhadap Wanita.
|
Keputusan Presiden nomor 129
tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia tahun 1998-2003 yang memuat
rencana ratifikasi berbagai instrument hak asasi manusia Perserikatan
Bangsa-bangsa serta berbagai tindak lanjutnya.
|
Keppres Nomor 31 tahun 2001
tentang Pembentukkan Pengadilan Hak Asasi Manusia pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Makasar.
|
Keputusan Presiden (Keppres)
nomor 5 tahun 2001 tentang Pembentukkan Pengadilan Hak Asasi Manusia AdHoc
pada Pengadilan Negeri Jakarta PUsat, yang diubah dengan Keppres nomor 96
tahun 2001.
|
Menindaklanjuti Tap MPR Nomor
VIII/MPR/2000, pada tanggal 23 November 2000 ditetapkanlah Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Sebagai peraturan pelaksana
Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 2 Tahun 1999 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan
Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat dan Peraturan Pemerintah
Nomor 3 Tahun 1999 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap
Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat. Penerbitan kedua PP ini merupakan
pelaksanaan dari pasal 34 ayat (3) dan 35 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Pelanggaran terhadap HAM dapat
dilakukan baik oleh aparatur Negara (state-actors) maupun bukan aparatur Negara
(non state-actors). Oleh karena itu, penindakan terhadap pelanggaran hak asasi
manusia tidak boleh hanya ditujukan kepada aparatur negara, tetapi juga
pelanggaran yang dilakukan bukan oleh aparatur negara. Penindakan terhadap
pelanggar HAM tersebut dilakukan melalui proses peradilan secara
nondiskriminatif dan berkeadilan.
Pengadilan HAM merupakan pengadilan
khusus yang berada di lingkungan
pengadilan umum. Pengadilan HAM berkedudukan di daerah kabupaten atau
kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang
bersangkutan. Pada Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pengadilan HAM berkedudukan
di setiap wilayah Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Pengadilan HAM bertugas
dan berwenang memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran HAM berat.
Pengadilan HAM juga berwenang memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran HAM
oleh warga negara Indonesia dan dilakukan diluar batas territorial wilayah
negara Republik Indonesia. Akan tetapi, pengadilan HAM tidak berwenang
memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh
seseorang yang berumur dibawah 18 tahun pada saat pelanggaran tersebut
dilakukan. Pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara
pengadilan HAM sebagaimana terdapat dalamUndang-Undang Pengadian HAM.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM juga mengatur tentang Pengadilan HAM ad hoc. Pengadilan
ad hoc berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat yang
terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang Pengadilan HAM. Pengadilan HAM ad
hoc dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan peristiwa tertentu
dengan Keputusan Presiden. Pengadilan HAM ad hoc berada di lingkungan
pengadilan umum. Pengadilan ad hoc lebih lanjut diatur dalam Keppres Nomor 96
Tahun2001 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 2001 tentang
Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pada pasal 2 Keppres Nomor 96 Tahun
2001 dinyatakan bahwa Pengadilan HAM ad hoc tersebut berwenang memeriksa dan
memutus perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor Timur dalam wilayah
hukum Liquica, Dili, dan Suai yang
terjadi pada bulan April1999 dan bulan September 1999. Pengadilan HAM ad hoc
juga berwenang memeriksa dan memutus perkara yang terjadi di Tanjung Priok pada
bulan September 1984. Dengan demikian, perumusan ini lebih menyempurnakan
rumusan dalam Keppers No. 53 Tahun 2001 yang hanya menyatakan bahwa pengadilan
yang dimaksud berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang
berat yang terjadi di Timor Timur pascajajak pendapat dan yang terjadi di
Tanjung Priok pada tahun 1984.
Disamping adanya Pengadilan HAM ad
hoc, Undang-Undang Pengadilan HAM juga menyebutkan keberadaan Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi. Undang-Undang tentang Komisi kebenaran dan Rekonsiliasi
(Undang-Undang KKR) telah disahkan oleh DPR RI pada tanggal 7 September 2004,
yakni Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Indonesia beranggotakan 21 orang dengan susunan 3 orang pimpinan, 9 anggota
subkomisi penyelidikan dan klarifikasi, 5 anggota subkomisi dan kompensasi,
restitusi, dan rehabilitasi, dan 4 anggota subkomisi pertimbangan amnesti.
Anggota dipilih oleh Presiden dengan persetujuan DPR melalui pembentukan
Panitia Seleksi.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
mempunyai tugas.
1. Mengungkapkan
kebenaran atas terjadinya pelanggaran HAM berat di masa lalu. Pengertian
kebenaran dalam Undang-Undang KKR adalah kebenaran factual atas suatu peristiwa
yang dapat diungkap tentang pelanggaran HAM yang berat, baik mengenai korban,
pelaku, tempat, maupun waktu.
2. Menyelesaikan
pelanggaran HAM masa lalu dan melaksanakan rekonsiliasi. Penyelesaian
pelanggaran HAM berdasarkan tahapan-tahapan tertentu, yaitu adanya pengungkapan
kebenaran, pengakuan kesalahan, pemberian maaf, dan kemudian perdamaian. Tanpa
adanya syarat-syarat tersebut, misalnya pelaku tidak mau mengakui kesalahannya
serta tidak bersedia menyesali perbuatannya, maka tidak akan terjadi
rekonsiliasi dan pelaku dapat diajukan ke pengadilan HAM ad hoc.
Penjelasan
Umum Undang-Undang KKR menyatakan bahwa apabila pelaku mengakui kesalahan,
mengakui kebenaran fakta-fakta, menyatakan penyesalan atas perbuatan yang
dilakukan, dan bersedia meminta maaf kepada korban maka pelaku dapat mengajukan
amnesti kepada presiden. Apabila permohonan amnesty tersebut beralasan,
presiden dapat menerima permohonan tersebut dan kepada korban harus diberikan
kompensasi atau rehabilitasi. Apabila permohonan amnesti ditolak, kompensasi
atau rehabilitasi tidak diberikan oleh negara dan perkaranya ditindaklanjuti
berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dengan menggunakan mekanisme
pengadilan HAM.
Berikut
ini beberapa konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah
Indonesia dan dimasukkan ke dalam hokum nasional.
No.
|
Deklarasi Internasional
|
Hukum Nasional
|
1.
|
Konvensi Hak-Hak Politik
Perempuan (1958).
|
Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958
|
2.
|
Konvensi tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (1984).
|
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984
|
3.
|
Konvensi tentang Hak-Hak Anak
(1990).
|
Keputusan presiden Nomor 36 Tahun
1990
|
4.
|
Konvensi Anti-Apartheid dalam
Olahraga (1993).
|
Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun
1993
|
5.
|
Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahhkan Martabat
Manusia (1998).
|
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998
|
6.
|
Konvensi Tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (1999).
|
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1999
|
G. Partisipasi dalam Penegakan HAM di
Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara
Berdasarkan berbagai peraturan dasar
dan peraturan perundang-undangan, dapat dikemukakan beberapa langkah-langkah
yang dapat dipilih baik oleh negara maupun masyarakat Indonesia dalam upaya
menyelesaikan berbagai masalah terkait dengan pelanggaran HAM. Langkah-langkah
tersebut antara lain.
1. Melengkapi
berbagai peraturan yang berkaitan dengan perlindungan dan penegakan HAM di
Indonesia. Langkah ini dilakukan dengan cara membentuk berbagai peraturan dasar
dan peraturan perundang-undangan yang materi muatannya berkaitan dengan
perlindungan dan penegakkan HAM.
2. Membentuk
Pengadilan HAM dengan tujuan untuk mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM yang
terjadi di Indonesia. Untuk beberapa kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada
masa lalu, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 telah mencanangkan pembentukan
Pengadilan HAM ad hoc dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
3. Pembentukan
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pembentukan komisi ini merupakan salah satu
alternatif penyelesaian pelanggaran HAM berat. Dengan pembentukan komisi ini,
proses penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM dapat dilakukan dengan meniru
model dari negara-negara yang pernah menerapkan pembentukan komisi semacam ini.
4. Peningkatan
diseminasi dan pendidikan HAM. Langkah ini dilaksanakan antara lain dengan mengembangkan
dan menyebarluaskan bahan-bahan pengajaran HAM.
Bentuk
partisipasi masyarakat dalam penegakan HAM tersirat dalam visi Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Visi dan misi Komnas HAM menyatakan bahwa
pemajuan HAM di Indonesia tidak akan terwujud tanpa sosialisasi dan
internalisasi nilai-nilai dan norma-norma HAM kepada warga masyarakat.
Komnas
HAM mempunyai fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan
mediasi tentang HAM. Komnas HAM beranggotakan tokoh masyarakat yang professional,
berdedikasi, dan berintegrasi tinggi. Komnas HAM berkedudukan di ibu kota
negara dan perwakilan Komnas HAM dapat didirikan di daerah.
Anggota
Komnas HAM berjumlah 35 orang. Anggota Komnas HAM dipilih oleh DPR dan
diresmikan oleh presiden sebagai kepala negara. Setiap anggota Komnas HAM wajib
menaati keputusan Komnas HAM dan peraturan yang berlaku. Selain itu, mereka
juga harus berpartisipasi secara aktif dan sungguh-sungguh untuk mencapai
tujuan Komnas HAM. Anggota Komnas HAM harus dapat menjaga kerahasiaan
keterangan yang karena sifatnya rahasia Komnas HAM. Komnas HAM dipimpin oleh
seorang ketua dan dua orang wakil ketua.
Dalam
menjalankan fungsinya sebagai pemantau masalah HAM, Komnas HAM juga bertugas
dan berwenang untuk memberikan pendapat berdasarkan persetujuan ketua
pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan.
Pendapat Komnas HAM diperlukan apabila dalam perkara yang diperiksa tersebut
terdapat indikasi terjadinya pelanggaran HAM. Kemudian pendapat Komnas HAM tersebut
wajib diberitahukan oleh hakim kepada pihak yang berwajib.
Penegakan
HAM mempunyai relevansi dengan masyarakat madani karena nilai-nilai persamaan,
kebebasan, dan keadilan yang terkandung dalam HAM dapat mendorong terciptanya
masyarakat egaliter. Masyarakat egaliter merupakan cirri masyarakat madani.
Dengan demikian, penegakan HAM merupakan prasyarat untuk menciptakan sebuah
masyarakat madani. Dalam upaya mewujudkan masyarakat madani yang terpenting
adalah masyarakat harus berada dalam posisi mandiri di hadapan kekuasaan
negara. Di tengah masyarakat tersebut harus pula ditegakkan keadilan dan supremasi
hukum sehingga terwujud kehidupan yang demokratis dan toleran.
Pengakuan
adanya hak asasi pada seseorang berarti mengakui pula adanya kewajiban asasi semua
orang untuk menghormati hak asasi yang dimiliki oleh orang lain. Batas HAM yang
satu adalah hak asasi orang lain. Dengan demikian, hubungan antara hak dan
kewajibanadalah resiprokal yang harmonis karena pengakuan hak pada pihak
tertentu berimplikasi kewajiban pada pihak lain.