Jumat, 25 Mei 2012

Hak Asasi Manusia





MAKALAH PKN
HAM

DOSEN PEMBIMBING:
H. Dian Agus, S.Pd, M.Pd


Disusun Kelompok VI :
1. Akhmad Jaidie (A1C311012)
6. Tiara Ramadhianti (A1C3110
2. Siti Shafiyah (A1C311006)
7. Yasfi Sadriyah (A1C3110
3. Hanum Masayu (A1C3110
8. Yunika  (A1C3110
4. Elka Arytianti (A1C3110
9. Siti Arda Mauliti (A1C311030)
5. Muhayar (A1C311037)
10. Siti Rahmah (A1C311043)


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2011



A. Pengertian dan Macam-Macam Hak Asasi Manusia
1. Pengertian Hak Asasi Manusia
            Hak Asasi Manusia(HAM) mempunyai arti penting bagi kehidupan manusia. Hak Asasi Manusia yang berisi hak-hak dasar manusia. Hak Asasi Manusia memuat standar normatif untuk mengatur hubungan negara dengan warga negara dan hubungan dengan sesama warga negara. Oleh karena itu, penegakkan HAM mempunyai makna penting untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak warga negara.

            Dalam memahami hakikat HAM, terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian dasar tentang hak. Secara definitif, hak merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman berperilaku, melindungi kebebasan, kekebalan, serta menjamin adanya kesempatan bagi manusia untuk menjaga harkat dan martabatnya. Menurut James W. Nickel, hak mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:
a. pemilik hak
b. ruang lingkup penerapan hak
c. pihak yang bersedia dalam penerapan hak.
            Istilah HAM yang dikenal di Barat ialah Right of Men. Istilah “Right of Men” yang menggantikan istilah “Natural Right”. Istilah Right of Men ternyata tidak secara otomatis mengakomodasi pengertian yang mencakup Right of Women. Oleh karena itu, istilah Right of Men diganti dengan istilah Human Rights oleh Eleanor Roosevelt karena dipandang lebih netral dan universal.
Berikut ini pengertian HAM menurut beberapa pendapat.
1. Jan Materson
            Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang secara inhern melekat dalam diri manusia. Tanpa hak itu manusia tidak dapat hidup sebagai manusia.
2. John Locke
            Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati.
3. TAP MPR NO. XVII/MPR/1998
            Hak Asasi Manusia adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan manusia, dan masyarakat yang tidak boleh diabaikan, dirampas, atau diganggu gugat oleh siapapun.
4. UU No. 39 Tahun 1999
            Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
5. Koentjoro Poerbapranoto
            Hak Asasi adalah hak yang bersifat asasi. Hak asasi merupakan hak yang dimiliki oleh manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya sehingga bersifat suci.
            Berdasarkan beberapa rumusan HAM di atas, diperoleh suatu kesimpulan bahwa HAM merupakan hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dihormati, dijaga, dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat, dan negara. Dengan demikian, hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap HAM ialah menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan, yaitu keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta keseimbangan antara kepentingan individu dengan kepentingan umum. Upaya menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi HAM menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama antara individu dan pemerintah.

2. Ciri-Ciri Hak Asasi Manusia
            Berdasarkan beberapa rumusan HAM di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang beberapa cirri pokok HAM, yaitu.
a.       Hak asasi manusia tidak diberikan, dibeli ataupun diwarisi. Hak asasi manusia adalah bagian dari individu secara otomatis.
b.      Hak asasi manusia berlaku untuk semua individu, tanpa memandang jenis kelamin, ras, agama, etnis, pandangan politik, asal-usul sosial, dan bangsa.
c.       Hak asasi manusia tidak dapat dilanggar. Tidak seorangpun mempunyai hak untuk membatasi atau melanggar hak individu lain. Seorang individu tetap mempunyai hak asasi manusia walaupun sebuah membuat hukum yang tidak melindungi hak asasi manusia.
3. Sejarah HAM
            Di dunia Barat terdapat beberapa usaha untuk merumuskan serta memperjuangkan beberapa hak yang dianggap suci dan harus dijamin. Dalam proses ini telah lahir beberapa naskah yang secara berangsur-angsur menetapkan beberapa hak yang mendasari kehidupan manusia serta bersifat universal dan asasi. Naskah tersebut ialah sebagai berikut.
No.
Perjanjian yang mendasari terbentuknya HAM
1.
Magna Charta (Piagam Agung 1215)
Magna Charta merupakan suatu dokumen yang mencatat beberapa hak yang diberikan oleh Raja John dari Inggris kepada beberapa bangsawan bawahannya atas tuntutan mereka. Naskah ini sekaligus membatasi kekuasaan Raja John.
2.
Bill of Rights (Undang-Undang Hak 1689)
Bill of Rights merupakan suatu undang-undang yang diterima oleh Parlemen Inggris sesudah berhasil mengadakan perlawanan terhadap Raja James II dalam suatu revolusi tak berdarah (The Glorius Revolution of 1689)
3.
Declaration des droits de I’homme et du citoyen (pernyataan hak-hak manusia dan warga negara 1789)
Merupakan suatu naskah yang dicetuskan pada permulaan Revolusi Prancis sebagai perlawanan terhadap kesewenang-wenangan rezim lama.
4.
Bill of Rights 1789
Merupakan suatu naskah yang disusun oleh rakyat Amerika pada tahun 1789. Bill of Rights 1789 menjadi bagian dari undang-undang dasar pada tahun 1791.

Hak-hak yang dirumuskan dalam abad ke-17 dan ke-18 ini sangat dipengaruhi oleh gagasan mengenai hokum alam (natural law), seperti yang dirumuskan oleh John Locke (1632-1714) dan Jean Jaques Rousseau (1712-1778). Dalam mazhab hukum alam, konsepsi hak-hak asasi mausia hanya meliputi the right to life (hak atas hidup), the right to liberty (hak atas kemerdekaan), dan the right to property (hak atas milik pribadi).
Menurut John Locke, terdapat hak-hak individu dan masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari dirinya dan diserahkan kepada pemimpin, yaitu hak atas hidup, hak atas kemerdekaan, dan hak atas milik pribadi sebagai hak-hak asasi. Hak-hak tersebut diterima setiap manusia sejak dilahirkan dan bukan diberikan oleh hukum manusia atau masyarakat.
Dalam abad ke-20, macam-macam hak asasi ini dianggap kurang sempurna. Setelah itu mulailah dicetuskan beberapa hak lain yang lebih luas ruang lingkupnya. Perumusan hak yang terkenal ialah empat hak yang dirumuskan oleh Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Roosevelt pada permulaan Perang Dunia II. Hak-hak yang disebut oleh Presiden Roosevelt terkenal dengan istilah The Four Freedoms (Empat Kebebasan). Hak-hak tersebut antara lain.
1.      Kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat (freedom of speech)
2.      Kebebasan beragama (freedom of religion)
3.      Kebebasan dari ketakutan (freedom from fear)
4.      Kebebasan dari kemelaratan (freedom from want)
Roosevelt menyatakan bahwa untuk membahagiakan manusia, tidak cukup dengan memberikan pengakuan hak-hak politik dan hak-hak yuridis saja. Hak-hak politik dan hak-hak yuridis seperti hak atas kebebasan, hak menyatakan pendapat, hak untuk ikut dalam pemilihan umum, dan kesamaan di hadapan hukum (equality before the law) tidak berarti apa-apa seandainya kebutuhan manusia yang paling mendasar (basic needs) seperti sandang, pangan, dan papan tidak dapat dipenuhi. Menurut pendapat Roosevelt, hak asasi manusia juga harus mencakup bidang ekonomi, sosial dan budaya.
Dimensi baru hak-hak asasi manusia yang dirumuskan oleh Roosevelt itu kemudian menjadi inspirasi dan bagian yang tidak dipisahkan dari Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (Declaration of Human Rights). Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia tersebut kemudian disetujui dan diumumkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948.
Sifat hak-hak asasi manusia dapat dibedakan dalam beberapa pokok persoalan.
1.      Hak-hak asasi pribadi atau hak sipil (personal rights). Hak ini meliputi kemerdekaan menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama, kebebasan bergerak, kebebasan berpikir dan kebebasan untuk melaksanakan ibadah.
2.      Hak-hak asasi ekonomi (property rights). Hak ini meliputi hak untuk memiliki sesuatu, untuk menjual barang miliknya, hak mengadakan perjanjian atau kontrak, dan hak untuk memilih pekerjaan. Hak-hak tersebut harus memperhatikan peraturan perundangan yang berlaku.
3.      Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dan sederajat dalam hukum dan pemerintahan (rights of legal equality).
4.      Hak-hak asasi politik (political rights). Hak ini meliputi hak untuk ikut serta dalam pemerintahan, hak untuk memilih dan dipilih, hak untuk mendirikan partai politik, dan hak untuk mengadakan petisi.
5.      Hak untuk mendapatkan tata cara peradilan dan jaminan perlindungan (procedural rights). Instansi pemerintah diwajibkan untuk mentaati tata cara dan peraturan-peraturan tertentu di dalam melindungi HAM. Sebagai contoh adalah peraturan pemerintah dalam hal penggeledahan dan peradilan.
6.      Hak asasi sosial dan kebudayaan (social and cultural rights). Hak ini meliputi hak untuk memilih pendidikan dan hak untuk mengembangkan kebudayaan yang disukainya.

Berikut ini merupakan perumusan HAM yang terdapat dalam Deklarasi Universal tentang HAM.

Kategori HAM
Macam-macam HAM
Hak yang secara langsung memberikan gambaran kondisi minimum yang diperlukan individu agar ia dapat mewujudkan watak kemanusiaannya.
1. Pengakuan atas martabat (Pasal 1)
2. Perlindungan atas kebutuhan hidup (Pasal 2)
3. Jaminan atas kebutuhan hidup (Pasal 3)
4. Terbebas dari perbudakan (Pasal 4)
5. Perlindungan dari tindakan sewenang-wenang
(Pasal 5)
6. Kesempatan menjadi warga negara (Pasal 15)
Hak tentang perlakuan yang seharusnya diperoleh manusia dari sistem hukum.
1. Persamaan di depan hukum (Pasal 6)
2. Memperoleh pengadilan yang adil (Pasal 10)
3. Asas praduga tak bersalah (Pasal 11)
4. Hak untuk tidak diintervensi kehidupan pribadinya (Pasal 12)
Hak yang memungkinkan individu dapat melakukan kegiatan tanpa campur tangan pemerintah dan memungkinkan individu ikut ambil bagian dalam mengontrol jalannya pemerintahan. Hak ini lazimnya disebut sebagai hak sipil dan hak politik.
1. Kebebasan berpikir dan beragama (Pasal 18)
2. Hak berkumpul dan berserikat (Pasal 20)
3. Hak untuk ikut aktif dalam pemerintahan  (Pasal 21)
Hak yang menjamin terpenuhinya taraf minimal hidup manusia dan memungkinkan adanya pengembangan kebudayaan. Hak ini disebut seagai hak sosial, ekonomi, dan budaya.
1.Hak untuk mendapatkan makanan, pekerjaan, dan pelayanan kesehataan (Pasal 22-25)
2.Hak untuk memperoleh pendidikan dan mengembangkan kebudayaan (Pasal 26-29)

            Rumusan HAM dalam UUD 1945 tercantum dalam BAB X A. Hak Asasi Manusia yang tercantum dalam Bab X A antara lain.
Pasal
Isi Pasal
Pasal 28A
Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Pasal 28B (1)

Pasal 28B (2)
Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yag sah.
Setiap orang berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 28C (1)




Pasal 28C (2)
Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahhuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan umat manusia.
Setiap orang berhak memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Pasal 28D (1)


Pasal 28D (2)

Pasal 28D (3)

Pasal 28D (4)
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
Pasal 28E (1)



Pasal 28E (2)

Pasal 28E (3)
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Setiap orang berhak atas kebebasan berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Pasal 28F
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Pasal 28G (1)




Pasal 28G (2)
Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.
Pasal 28H (1)


Pasal 28H (2)


Pasal 28H (3)


Pasal 28H (4)
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan.
Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.
Pasal 28I (1)





Pasal 28I (2)


Pasal 28I (3)

Pasal 28I (4)

Pasal 28I (5)
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbuat, hak untuk diakui secara pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman peradaban.
Perlindungan, kemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 28J (1)


Pasal 28J (2)
Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

            Secara operasional, macam-macam HAM dirumuskan lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM sebagai berikut.
1.      Hak untuk hidup (Pasal 9)
2.      Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan (Pasal 10)
3.      Hak mengembangkan diri (Pasal 11-16)
4.      Hak memperoleh keadilan (Pasal 17-19)
5.      Hak atas kebebasan pribadi (Pasal 20-27)
6.      Hak atas rasa aman (Pasal 28-35)
7.      Hak atas kesejahteraan (Pasal 36-42)
8.      Hak turut serta dalam pemerintahan (Pasal 43-44)
9.      Hak wanita (45-51)
10.  Hak anak (Pasal 52-66)
B. Hambatan dan Tantangan dalam Penegakan HAM di Indonesia
            Penegakan HAM di Indonesia mengalami berbagai hambatan dan tantangan. Upaya penegakan HAM di Indonesia dipengaruhi oleh kondisi politik yang sedang terjadi pada masa tersebut. Dinamika penegakan HAM di Indonesia dapat dibagi atas periode-periode waktu berikut ini.
1. Periode 1945-1959
            Undang-Undang Dasar 1945 yang terbentuk pada tanggal 18 Agustus 1945 telah mencantumkan perihal hak asasi manusia. Akan tetapi, hak-hak asasi tersebut masih terbatas jumlahnya dan dirumuskan secara singkat. Hal ini terjadi karena naskah Undang-Undang Dasar 1945 disusun pada akhir masa pendudukan Jepang dan dalam suasana mendesak. Walaupun demikian, pemikiran tentang HAM terus mengalami perkembangan yang berarti, terutama di kalangan para pemimpin bangsa.
            Pemikiran HAM  pada periode 1950-1959 mendapatkan momentum yang sangat baik. Hal tersebut dikarenakan suasana kebebasan yang menjadi semangat demokrasi liberal atau demokrasi parlementer mendapatkan perhatian dari pemimpin maupun masyarakat. Menurut Bagir Manan, terdapat lima aspek yang menandai hal tersebut, antara lain:
a.  Semakin banyak tumbuh partai-partai politik dengan beragam ideologinya.
b.  Kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi betul-betul menikmati kebebasannya.
c. Pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan, fair (adil), dan demokratis.
d.  Parlemen atau DPR sebagai representasi dari kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja sebagai wakil rakyat dengan melakukan kontrol yang efektif terhadap eksekutif.
e. Wacana dan pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan. Dalam perdebatan di Konstituante misalnya, berbagai partai politik yang berbeda aliran dan ideologi sepakat tentang substansi HAM universal dan pentingnya HAM masuk dalam UUD serta menjadi bab tersendiri.

2. Periode 1959-1966
            Dalam masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966), telah terjadi penyimpangan terhadap UUD 1945 untuk kepentingan penguasa. Pada periode ini, sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi terpimpin. Demokrasi terpimpin lahir sebagai reaksi atas penolakan Soekarno terhadap sistem demokrasi parlementer. Pada sistem ini, kekuasaan terpusat dan berada di tangan Presiden. Akibat dari sistem demokrasi terpimpin, presiden melakukan tindakan inkonstitusional, baik pada tataran suprastruktur politik maupun dalam tataran infrastruktur politik. Pada periode ini terjadi pemasungan terhadap hak sipil dan hak politik, seperti hak untuk berserikat berkumpul dan mengeluarkan pikiran dengan tulisan.
3. Periode 1966-1998
            Periode 1966-1998 ditandai dengan berkuasanya Orde Baru. Salah satu tujuan dari penegakan Orde Baru adalah melaksanakan hak-hak asasi yang tercantum dalam UUD 1945. Pada masa awal periode ini, telah diadakan berbagai seminar tentang HAM. Salah satu seminar tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967. Seminar ini merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan pengadilan HAM dan pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM untuk wilayah Asia. Selanjutnya pada tahun 1968 diadakan Seminar Nasional Hukum II yang merekomendasikan perlunya hak uji materiil (judicial review) untuk melakukan perlindungan terhadap HAM.
            Dalam rangka pelaksanaan TAP MPRS Nomor XIV/MPRS 1966, MPRS melalui Panitia Ad Hoc IV telah menyiapkan  rumusan yang akan dituangkan dalam Piagam tentang Hak-Hak Asasi Manusia dan Hak-Hak serta Kewajiban Warga Negara. Akan tetapi, terjadi kemacetan dalam pembicaraan di sidang MPRS ini. Dengan demikian, perumusan dan pengaturan hak-hak asasi seperti yang ditentukan pada tahun 1945 tidak mengalami perubahan.
Pada awal tahun 1970-an sampai periode akhir 1980-an, persoalan HAM di Indonesia mengalami kemunduran. HAM tidak lagi dihormati, dilindungi, dan ditegakkan. Pemikiran pemerintahan pada masa ini sangat diwarnai oleh sikap penolakan pemerintah terhadap HAM. Pemerintah pada periode ini bersifat defensif dan represif. Sikap defensif pemerintah tercermin dalam ungkapan bahwa HAM adalah produk pemikiran Barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila. Selain itu, sikap defensif pemerintah ini berdasarkan pada anggapan bahwa isu HAM seringkali digunakan oleh negara-negara Barat untuk memojokkan negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia.
Meskipun pemerintah pada periode ini cenderung untuk mengabaikan jaminan pelaksanaan HAM, pemikiran HAM terus berkembang. Pemikiran mengenai HAM di kalangan masyarakat dimotori oleh Lembaga Swadaya Masyarakat dan masyarakat akademisi yang menaruh perhatian terhadap penegakan HAM. Upaya yang dilakukan oleh masyarakat adalah melalui pembentukan jaringan dan lobi internasional terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi, seperti kasus Tanjung Priok, kasus DOM Aceh, dsb.
            Upaya yang dilakukan oleh masyarakat nampak memperoleh hasil yang menggembirakan. Terjadi pergeseran strategi pemerintah dari represif dan defensif ke strategi akomodatif terhadap tuntunan yang berkaitan dengan penegakan HAM. Salah satu sikap akomodatif pemerintah terhadap tuntutan penegakan HAM adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Komnas HAM dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 50 Tahun 1993 tertanggal 7 Juni 1993. Lembaga ini bertugas untuk memantau dan menyelidiki pelaksanaan HAM. Selain itu, lembaga ini juga dapat memberi pendapat, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal pelakasanaan HAM. Komnas HAM bertujuan untuk membantu pengembangan kondisi-kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 (termasuk hasil amandemen UUD 1945), Piagam PBB, Deklarasi Universal HAM, Piagam Madinah, Khutbah Wada’, Deklarasi Kairo, dan Deklarasi atau perundang-undangan lainnya yang terkait dengan penegakan HAM.

4. Periode 1998- Sekarang
            Pergantian rezim pemerintahan pada tahun 1998 ini memberikan dampak yang besar pada pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada periode ini mulai dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan pemerintah Orde Baru yang berlawanan dengan pemajuan dan perlindungan HAM. Selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberlakuan HAM. Selain itu, pengkajian dan ratifikasi terhadap instrumen HAM Internasional semakin ditingkatkan. Hasil dari pengkajian tersebut menunjukkan banyaknya norma dan ketentuan hukum nasional yang terkait dengan penegakan HAM diadopsi dari hukum dan instrumen internasional di bidang HAM.
            Strategi penegakan HAM pada periode Orde Reformasi dilakukan melalui dua tahap, yaitu:
  1. Tahap status penentuan (prescriptive status)
2. Tahap penataan aturan secara konsisten (rule consistent behavior).
Pada tahap status penentuan telah ditetapkan beberapa ketentuan perundang-undangan tentang HAM, seperti amandemen konstitusi negara (Undang-Undang Dasar 1945), Ketetapan MPR (TAP MPR), undang-undang, peraturan pemerintah, dan ketentuan perundang-undangan lainnya.
Pada masa pemerintahan Habibie, penghormatan dan pemajuan HAM mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Hal tersebut ditandai oleh adanya TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM dan disahkannya sejumlah konvensi HAM, yaitu:
1.  Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan kejam lainnya dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
2.  Konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999.
3.  Konvensi ILO Nomor 87 tentang kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi dengan Keppres Nomor 83 Tahun 1998.
4.  Konvensi ILO Nomor 105 tentang penghapusan kerja paksa dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1999.
5.  Konvensi ILO Nomor 111 tentang diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1999.
6.  Konvensi ILO Nomor 138 tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999.
     Selain itu, dicanangkan pula program Rencana Aksi Nasional HAM pada 15 Agustus 1998 yang didasarkan pada empat pilar, yaitu:
1.  persiapan pengesahan perangkat internasional di bidang HAM.
2.  desiminasi informasi dan pendidikan bidang HAM.
3.  penentuan skala prioritas pelaksanaan HAM.
4.  pelaksanaan isi perangkat internasional di bidang HAM yang telah diratifikasi melalui perundang-undangan nasional.
Garis besar ketentuan HAM yang diatur dalam amandemen kedua UUD 1945 selanjutnya dielaborasi menjadi ketentuan yang lebih rinci di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, telah ditetapkan pula Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pengadilan HAM diberi tugas dan wewenang khusus untuk memeriksa serta memutus perkara pelanggaran HAM  yang termasuk kategori berat.
            Keseluruhan ketentuan peraturan perundang-undangan yang menyangkut HAM merupakan pintu pembuka bagi strategi selanjutnya, yaitu tahap penataan aturan secara konsisten. Pada tahap ini, diupayakan mulai tumbuh kesadaran penghormatan dan penegakan HAM, baik di kalangan aparat pemerintah maupun masyarakat. Penataan aturan secara konsisten memerlukan beberapa persyaratan, yaitu adanya demokrasi dan supremasi hukum. Menurut Bagir Manan, demokrasi dan pelaksanaan prinsip-prinsip negara yang didasarkan atas hukum merupakan instrumen bahkan prasyarat bagi jaminan perlindungan dan  penegakan HAM. Oleh karena itu, hubungan antara HAM, demokrasi, dan negara harus dilihat sebagai hubungan keseimbangan yang simbiosis mutualistik.
Dari uraian perkembangan HAM di atas, dapat disimpulkan beberapa hambatan dan tantangan dalam penegakan HAM di Indonesia, yaitu sebagai berikut:
1.  Ketentuan HAM yang tercantum dalam UUD 1945 masih sederhana. Pengaturan ini memerlukan political will dari pemerintah agar dapat berlaku secara efektif.
2.  Masih adanya persepsi bahwa HAM merupakan produk pemikiran Barat, individualistik, dan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa. Persepsi ini seharusnya diubah melalui berbagai pendidikan dan penyebaran informasi yang komprehensif tentang HAM. Masyarakat perlu menyadari nilai-nilai universalitas dalam HAM. Masyarakat perlu mengetahui bahwa HAM merupakan kebutuhan dasar manusia yang perlu diperjuangkan, dihormati, dan dijunjung tinggi oleh setiap manusia. Dengan demikian, akan tumbuh kesadaran penghormatan dan penegakan HAM baik di kalangan aparat pemerintah maupun masyarakat.
3.  Terdapat kegamangan dari pemerintah yang sekarang berkuasa untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang terkait dengan kejahatan kemanusiaan di masa lalu. Kondisi tersebut disebabkan karena saat ini merupakan masa transisi pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi. Selain itu, masih kuatnya pengaruh para pejabat publik yang merupakan bagian dari orde sebelumnya juga menjadi faktor penting dalam upaya penegakan HAM. Sehingga  sekalipun DPR telah mengesahkan Undang-Undang tentang HAM, penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu masih menjadi tantangan yang cukup berat bagi pemerintah yang sekarang berkuasa.
4.  Adanya indikasi ketidakberpihakan pemerintah pada rakyat dalam proses pemulihan perekonomian negara. Berbagai kebijakan pemerintah sekarang ini terpaksa diambil meskipun beresiko mengorbankan hak-hak rakyat yang fundamental. Sebagai contoh adalah kebijakan untuk menaikkan harga BBM, yang diikuti dengan kenaikan harga kebutuhan pokok dan transportasi.
5.  Kondisi rakyat Indonesia yang terdiri atas beragam etnik, suku bangsa, bahasa daerah, agama, keadaan sosial, dan ekonomi yang berbeda-beda merupakan tantangan untuk saling membina toleransi dan saling menghormati hak asasi orang lain. 

C. Pelanggaran HAM dan Proses Peradilan HAM Internasional
1.    Pengertian Pelanggaran HAM
Pelanggaran terhadap HAM diartikan secara berbeda oleh berbagai penulis. Di dalam wacana tradisional, pelanggaran HAM dilihat sebagai tanggung jawab Negara di dalam konteks kewajibannya terhadap warga negara. Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia di Wina pada tahun 1993 mengembangkan satu perspektif yang lebih luas atas HAM dan juga pada pelanggaran HAM. Pengakuan atas HAM yang terdiri dari hak-hak sipil, budaya, ekonomi, politik, dan sosial ditujukan sebagai tanggung jawab dari berbagai pihak, bukan hanya negara.
Pasal 1 butir 6 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan definisi pelanggaran HAM sebagai berikut.
“Pelanggaran hak asasi manusia adalah perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak sengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia  seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hokum yang berlaku”
Dengan demikian, pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan, baik dilakukan oleh individu maupun institusi negara atau institusi lainnya terhadap hak asasi individu lain. Tindakan tersebut dilakukan tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijakannya.
Menurut Arahan Mastricht (Mastrich Guidelines), pelanggaran HAM terjadi lewat:
1.      Acts of commission (tindakan untuk melakukan) oleh pihak negara atau pihak lain yang tidak diatur secara memadai oleh negara.
2.      Acts of ommission (tindakan untuk tidak melakukan tindakan apa pun) oleh negara.

Pelanggaran hak asasi manusia oleh pihak negara, baik berupa Acts of commission maupun Acts of omission, dapat dilihat sebagai kegagalan negara untuk memenuhi tiga jenis kewajiban yang berbeda, yaitu:
1.      Kewajiban untuk menghormati
Kewajiban menghormati menuntut negara untuk tidak bertindak apapun yang melanggar integritas individu atau kelompok. Contoh dari tindakan ini adalah pembunuhan di luar hokum (dalam pelanggaran atas kewajiban menghormati hak-hak individu untuk hidup), penahanan yang tidak memenuhi prosedur (dalam pelanggaran atas kewajiban untuk menghormati hak-hak individu untuk bebas), pelarangan serikat buruh (dalam pelanggaran atas kewajiban untuk menghormati kebebasan untuk berserikat), dan pembatasan atas praktik dari satu agama tertentu (dalam pelanggaran atas kewajiban untuk menghormati hak-hak kebebasan beragama individu).
2.      Kewajiban untuk melindungi
Kewajiban untuk melindungi menuntut negara dan aparatnya melakukan tindakan yang memadai guna melindungi warga dari pelanggaran hak-hak individu atau kelompok. Contoh dari jenis pelanggaran inni adalah kegagalan untuk bertindak ketika satu kelompok tertentu menyerang kelompok lain.
3.      Kewajiban untuk memenuhi
Kewajiban untuk memenuhi menuntut negara melakukan tindakan yang memadai untuk menjamin setiap orang di dalam yuridiksinya mendapatkan sarana yang diperlukan untuk melaksanakan kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh adalah kegagalan negara untuk memenuhi sistem perawatan kwsehatan dasar dan kegagalan negara untuk mengimplementasikan sistem pendidikan pada tingkat primer unuk setiap warga negara.

Satuan-satuan bukan negara dapat juga terlibat sebagai pelaku kejahatan pelanggaan hak asasi. Contoh dari pelanggaran HAM yang dilakukan oleh satuan bukan negara adalah:
1.      Pembunuhan penduduk sipil tentara pemberontak,
2.      Pengusiran komunitas yang dilakukan oleh perusahaan transnasional,
3.      Serangan bersenjata oleh salah satu pihak melawan pihak yang lain,
4.      Serangan fisikal mendadak dari pegawai pribadi melawan para pemprotes.
Pelanggaran HAM dikelompokkan menjadi dua bentuk, yaitu pelanggaran HAM berat dan pelanggaran HAM ringan. Pelanggaran HAM berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan (pasal 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia). Bentuk pelanggaran HAM ringan adalah selain dari kedua bentuk pelanggaran HAM berat itu. Pelanggaran HAM ringan seringkali dimasukkan dalam kategori kejahatan biasa (ordinary crime). Pelanggaran HAM dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crimes).
Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dinyatakan bahwa:
“pelanggaran hak asasi manusia yang berat merupakan “extraordinary crimes” dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil yang merupakan perasaan tidak aman baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketentraman, keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia”
Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
a.       Membunuh anggota kelompok,
b.      Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok,
c.       Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagainya,
d.      Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok,
e.       Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik. Serangan tersebut ditunjukkan secara langsung kepada penduduk sipil dan dapat berupa:
a.       Pembunuhan,
b.      Pemusnahan,
c.       Perbudakan,
d.      Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa,
e.       Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain seccara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan hukum pokok internasional,
f.       Penyiksaan,
g.      Pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara,
h.      Penganiayaan tterhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang secaa hukum internasional,
i.        Penghilangan orang secara paksa,
j.        Kejahatan apartheid.

Pelanggaran HAM dilakukan negara terhadap warganya juga terjadi di Indonesia. Kasus-kasus penyiksaan dalam proses penyidikan merupakan salah satu contoh pelanggaran HAM yang dilakukan aparat negara terhadap warga negara. Di era Orde Baru, ketika militer mempunyai kekuasaan yang nyaris tak terbatas, Indonesia banyak diwarnai oleh kasus kekerasan yang dilakukan oleh militer.
Kasus Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh pada 1990-an adalah wujud kesewenang-wenangan militer terhadap rakyat. Selain itu, masih banyak kasus pelanggaran HAM yang dilakukan negara terhadap warga negara, seperti penembakan terhadap empat warga Nipah yang ingin mempertahankan tanahnya, kasus penyiksaan terhadap warga transmigran di Sei Lapan, dan kasus Kedung Ombo. Fenomena pembredelan terhadap media massa yang dianggap vokal di masa Orde Baru juga merupakan salah satu bentuk pengekangan kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya di muka umum. Berbagai catatan tersebut merupakan beberapa contoh peristiwa pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara terhadap warga negara yang seharusnya dilindungi.
2.      Proses Peradilan HAM Internasional
Pelanggaran HAM terjadi di banyak negara. Keadaan ini menimbulkan persoalan yang telah melampaui batas-batas wilayah negara. Pelanggaran HAM telah menjadi persoalan internasional yang memerlukan penanganan secara efektif.
Sejalan dengan kebutuhan untuk menyelesaikan berbagai sengketa internasional, PBB membentuk The Internasional Court of Justice (ICJ) atau Komisi Hukum internasional. The Internasional Court of Justice berkedudukan di Den Haag. The Internasional Court of Justice bertugas menyelesaikan sengketa-sengketa antara negara atau perkara-perkara individu. Pada perkara individu yang berkaitan dengan pelanggaran HAM berat, penyelesaian dilakukan melalui Internasional Criminal Court (ICC).
Gagasan mendirikan ICC lahir pada tahun 1990-an. Upaya membentuk ICC tersebut dikarenakan adanya praktik penyelesaian kejahatan perang yang dianggap sebagai kejahatan HAM berat. Draf usulan pembentukan ICC dibuat oleh Komisi Hukum Internasional (Internasional Law Commission/ILC). Draf akhir ICC diserahkan ILC pada Majelis UMUM PBB pada tahun 1994. ICC dibentuk berdasarkan Statuta Roma1998. ICC berdiri di Den Haag, Belanda pada tanggal 1 Juli 2002.
Selain itudua peralihan internasional permanen tersebut, PBB pernah membentuk pengadilan ad hoc untuk mengadili kejahatan perang yang terjadi di bekas negara Yuguslavia (1992) dan Rwanda (1994). Pengadilan ad hoc tersebut dibentuk didasarkan pada kenyataan adanya tuntutan mendesak untuk segera mengakhiri perrtikaian yang terjadi di kawasan tersebut. Akan tetapi, instrumen hukum internasional yang ada tidak memadai. The Internasional Court of Justice tidak berwenang untuk tidak menyelesaikan sengketa antarindividu sebagai pihak yang diperiksa. Sementara itu, ICC masih belum berdiri. Oleh karena kebutuhan mendesak tersebut, PBB membentuk pengadilan ad hoc.
Tidak semua kejahatan yang melintasi batas negara dituntut dan diperiksa melalui The Internasional Court of Justice (ICJ) dan Internasional Criminal Court (ICC). Kejahatan internasional dan transnasional yang tidak dituntut dan diperiksa melalui lembaga peradilan internasional tersebut antara lain kejahatan terorisme dan penjualan obat terlaramg. Meski dianggap sebagai kejahatan transnasional, terorisme dapat dituntut dan dihukum berdasarkan peradilan dan undang-undang masing-masing negara. Dalam pembahasan Statuta Roma, mayoritas negara peserta menghendaki terorisme dan penjualan obat-obat terlarang dan menjadi perkara yang dapat dituntut dan diperiksa oleh Internasional Criminal Court. Akan tetapi, Amerika Serikat dan beberapa negara menolak keinginan tersebut. Akhirnya, terorisme dan penjualan obat terlarang tidak masuk menjadi bagian dari Statuta Roma dan tidak dapat diperkarakan dalam Internasional Criminal Court.
Di Indonesia, persoalan HAM sudah dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, diberlakukannya pula Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang peradilan HAM. Hukum Indonesia mengenai HAM sudah tunduk terhadap hukum internasional HAM. Hal ini menunjukkan bahwa sejak saat itu pemerintahan dan bangsa Indonesia sudahmengakui kesepahaman yang telah dibangun masyarakat internasional. Kesepahaman tersebut berkisar pada definisi dan prosedur dalam menghormati  dan menjunjung tinggi HAM, termasuk pelaksanaannya dalam konteks kehidupan politik dan penegakan hukum di Indonesia.
D. Konsekuensi Jika Negara Tidak Menegakkan HAM
Perdebatan mengenai siapa yang bertanggung jawab dalam menegakkan perjuagan, perlindungan, dan pemenuhan HAM sampai kini menjadi wacana yang tidak berkualitas yang tidak berkesudahan. Dalam kaitan dengan persoalan tersebut terdapat dua pandangan.
Pandangan yang pertama bahwa yang harus bertanggung jawab memajukan HAM adalah Negara. Negara dibentuk sebagai wadah untuk kepentingan kesejahteraan rakyatnya. Rakyat perlu diberikan pendidikan, terutama masalah yang berkaitan dengan HAM.  Negara yang tidak memfasilitasi rakyat melalui pendidikan HAM, berarti Negara tersebut telah mengabaikan amanat rakyat. Negara yang memilki tanggung jawab dalam memberikan jaminan HAM. Oleh karena itu, deklarasi PBB tentang HAM yang dikenal dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, beberapa kovenan, hukum perjanjian internasional, Piagam Madinah, dan Deklarasi Kairo harus diletakkan sebagai norma hukum internasional yang mengatur bagaimana negara-negara di dunia yang menjamin hak-hak individunya.
Setiap warga Negara mempunyai hak asasi, baik yang bersifat non derogable rights (hak yang dalam keadaan darurat perang harus dilindungi) maupun derograble rights (hak yang dalam keadaan normal harus dilindungi). Hak-hak inilah yang harus dijamin realisasinya oleh Negara. Apabila Negara tidak mampu melindungi HAM warga negaranya, Negara yang bersangkutan dengan sendirinya akan kehilangan legitimasi rakyatnya. Dengan demikian, analisis terhadap pelanggaran HAM selalu berada dalam wilayah pelanggaran HAM oleh negara terhadap rakyat. Pelanggaran HAM oleh negaranya terhadap rakyat disebut pelanggaran HAM secara vertikal. Pelanggaran ini tidak hanya berupa pelanggaran HAM secara langsung oleh negara, tetapi juga berupa pelanggran HAM secara tidak langsung. Pelanggaran tidak langsungterjadi apabila negara membiarkan terjadinya pelanggaran HAM dan tidak melakukan pemenuhan HAM. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM berpandangan bahwa tanggung jawab perlindungan, pemajuan, penghormatan, dan pemenuhan HAM ada pada pemerintah.
Pandangan kedua menyatakan bahwa tanggung jawab pemajuan. Penghormatan, dan perlindungan HAM tidak saja dibebankan kepada negara, melainkan juga kepada warga negara. Dengan demikian , negara dan individu sama-sama memiliki tanggung jawabterhadap pemajuan, penghormatan, dan perlindungan HAM. Oleh karena itu, pelanggaran HAM sebenarnya tidak saja dilakukan oleh negara kepada rakyatnya, melainkan juga oleh rakyat. Pelanggaran ini disebut sebagai pelanggaran HAM secara horisontal. Contoh bentuk pelanggaran HAM ini antara lain penembakan warga oleh sipil bersenjata, penganiayaan buruh oleh majikan, perampokan, dan ledakan bom bunuh diri ditempat umum oleh para teroris.
Nickel mengatakan  tiga alasan mengapa warga negara memiliki tanggung jawab dalam penegakan dan perlindungan HAM alasan-alasan tersebut antara lain.
1.      Sejumlah besar persoalan HAM tidak hanya melibatkan aspek pemerintah, tetapi juga kalangan swasta atau kalangan di luar negara, dalam hal ini warga negara.
2.      Hak asasi manusia bersandar pada pertimbangan-pertimbangan normatif agar umat manusia diperlakukan sesuai dengan martabat kemanusiaannya.
3.      Warga negara memiliki tanggung jawab atas dasar prinsip-prinsip demokrasi. Setiap warga negara memiliki kewajiban untuk ikut mengawasi tindakan pemerintah. Dalam masyarakat yang demokratis, sesuatu yang menjadi kewajiban pemerintah juga menjadi kewajiban warga negara.

Banyaknya pelanggaran HAM menunjukkan masih lemahnya sistem penegakan hukum dan lemahnya political will pemerintah dalam mengimplikasikan norma-norma HAM. Kekuasan yang dimiliki oleh negara justru sering dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan. Rendahnya tingkat kesadaran hukum dari warga masyarakat juga menjadi sebab terjadinya pelanggaran HAM.
Di negara-negara otoriter, perlindungan maupun penegakan HAM hampir-hampir tidak ada lagi warga negara. Banyak terjadi pelanggaran HAM berat dinegara-negara tersebut, misalnya.
1.      Di negara-negara komunis terjadi pembantaian terhadap pemeluk agama serta penghancuran rumah ibadah maupun kitab-kitab suci.
2.      Rezim Pol Pot Khmer Merah dalam rangka mewujudkan ideologinya telah berhasil membunuh lebih dari satu juta orang (dari delapan juta penduduk Kamboja).
3.      Pembantaian lebih kurang 6 juta orang Yahudi ketika Rezim fasis berkuasa di Jerman.
4.      Stalin menyebabkan lebih dari 10 juta petani Rusia mati dalam jangka waktu tiga tahun demi perwujudan ideology komunis.
5.      Pembantaian, penculikan, serta penyiksaan penduduk sipil terhadap orang-orang yang tidak sepaham oleh diktator militer.
Ketika kesadaran HAM tumbuh di kalangan warga negara, banyak negara-negara totaliter kehilangan legitimasinya. Pemerintah totaliter dapat jatuh dan digantikan dengan rezim yang lebih demokratis. Sebagai contoh adalah runtuhnya negara-negara komunis di Eropa Timur dan negara diktator militer di Amerika latin (Argentina, Bolivia, Paraguay, Uruguay) pada tahun 1980-an. Di Filipina, gerakkan kekuatan rakyat dengan damai telah menggulingkan kediktatoran Marcos tahun 1988.
Di Irak, pemerintah Saddam Husein berhasil dijatuhkan melalui invansi militer dilakukan oleh tentara Amerika Serikat dan sekutunya. Alasan pemberlakukan invasi ini mulanya adalah adanya tuduhan bahwa pemerintah Saddam Husein telah menyembunyikan senjata nuklir. Akan tetapi, dalam perkembangannya banyak alasan lain yang bermunculan. Di antaranya adalah masalah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah Saddam Husein. Pemerintah di bawah Saddam Husein dituduh telah melakukan pelanggaran HAM dengan melakukan pembunuhan secara massal tehadap kaum Syiah. Saddam Husein dan sebelas pejabat senior Partai Baath saat ini tengah menjalani proses pengadilan di Pengadilan Khusus Irak (IST). Keadaan di Irak sendiri tidak membaik setelah Saddam Husein berhasil ditangkap. Serangkaian aksi bom bunuh diri yang terjadi di Irak telah memperpanjang daftar hitam pelanggaran HAM di kawasan Timur Tengah.
Indonesia sekarang ini sedang dalam masa transisi politik. Sejak gerakan reformasi direncanakan, satu hal yang harus dituntaskan dalam masa transisi politik adalah melakukan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lalu. Pada awal era reformasi, di kalangan masyarakat Indonesia telah muncul tuntutan agar para pelanggar HAM berat diadili. Tuntutan itu mengarah kepada berbagai kasus, misalnya kasus Trisakti (12 Mei 1998), Semanggi I (13 November 1998), Semanngi II (22-24 September 1999). Kasus-kasus lain yng juga dituntut untuk diselesaikan adalah kasus pelanggaran HAM berat Tanjung Priok (12 September 1984), kasus pelanggaran HAM berat di Aceh semasa penerapan kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM) pada tahun 1989-1999, dan kasus pelanggaran HAM berat bagian di timor timur dalam wilayah hokum liquica, Dili, dan Suai.

E. Sanksi Internasional Atas Pelanggaran HAM
            Strake berpendapat bahwa rumusan peraturan dalam hukum internasional untuk melindungi hak-hak asasi tidak berjalan dengan efektif. Di Eropa telah didirikan suatu badan administratif internasional dan suatu pengadilan internasional yang bertujuan untuk melindungi hak-hak asasi, yaitu Komisi Eropa untuk Hak-Hak Asasi dan Pengadilan Eropa untuk Hak-Hak Asasi. Akan tetapi, kedua organisasi ini beroperasi di bawah pembatasan- pembatasan yurisdiksional dan prosedural. Organisasi ini hanya berkenaan dengan sejumlah kecil negara-negara yang telah menerima kompetensi organisasi tersebut.
            Dalam perkembangannya telah lahir instrumen hukum yang dapat menjamin terlaksanya HAM secara internasional. Berikut ini adalah beberapa instrumen-instrumen utama yang telah disahkan untuk menyatakan atau menjamin norma hak-hak asasi:
1.      The Universal Declaration of Human Right (1948)
2.      International Bill of Human Right (1966)
3.      International Covenant on Economic, Social and Culture Rights atau kovenan internasional tentang hak ekonomi, sosial, dan budaya.
4.      International Covenant on Civil and Political Rigths atau kovenan internasional tentang hak sipil dan politik.
5.      Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights atau protokol mengenai kovenan internasional tentang hak sipil dan hak politik.
Deklarasi Wina 1993 menyebutkan adalah kewajiban negara untuk menegakkan HAM. Deklarasi Wina menganjurkan pemerintah untuk memasukkan standar-standar yang terdapat dalam instrumen-instrumen hak asasi internasional ke dalam hukum nasional. Proses mengadopsi dan menetapkan pemberlakuan suatu instrumen HAM menjadi hukum nasional ini yang disebut sebagai ratifikasi. HAM bersumber pada nilai kemanusiaan yang universal. Deklarasi, konvensi, dan perjanjian internasional hanya merumuskan kembali apa yang telah menjadi nilai kemanusiaan selama ini.
Berbagai instrumen  hukum internasional yang telah dijabarkan di atas merupakan ketentuan-ketentuan yang tidak mengikat negara. Akan tetapi, instrumen hukum internasional di atas merupakan rumusan standar tentang hak asasi internasional yang dianjurkan untuk dimasukkan kedalam peraturan perundang-undangan secara nasional agar dapat berlaku secara efektif. Meskipun di Eropa dan Amerika perangkat tersebut telah dilengkapi dengan adanya pengadilan HAM, namun yurisdiksi pengadilan tersebut sangat terbatas pada negara-negara yangmengakui yurisdiksi pengadilan internasional tersebut. Dengan demikian, pengenaan sanksi terhadap pelanggaran HAM diutamakan kepada hukum nasional negara masing-masing. Apabila dari pengadilan nasional tidak diperoleh keputusan yang dianggap adil, negara atau subyek hukum internasional lainnya yang mengaku yurisdiksi pengadilan internasional dapat mengajukannya ke pengadilan internasional. Sanksi terhadap pelanggaran HAM ringan diserahkan kepada hukum nasional negara masing-masing. Sedangkan untuk perkara individu yang berkaitan dengan pelanggaran HAM berat, penyelesaian dilakukan melalui International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Pidana Internasional.
Contoh pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi antara lain :
·         Runtuhnya Federasi Yugoslavia (1992) melahirkan perang saudara diantara bekas negara bagiannya, yaitu Kroasia, Slovania, Serbia, dan Bosnia-Herzegovania. Selama kurun waktu 1992-1995, pasukan Serbia telah melakukan pembersihan etnik (etnic cleansing). Pembersihan titik etnik dilakukan terhadap warga sipil muslim di Bosnia ( di Saravejo) dan daerah-daerah lain serta di Kroasia yang ingin melepaskan diri dari Serbia setelah bubarnya negara federasi Yugoslavia. Tidak kurang 700.000 warga sipil telah disiksa dan dibunuh dengan kejam. Beberapa nama yang dianggap bertanggungjawab atas kejahatan perang tersebut antara lain Stanislav Galic, Gojko Jankovic, Janco Janjic, Dragon Zelenovic, Karadzic, dan Ratko Mladic.
·         Pada tahun 1994, pembersihan etnis terjadi di Rwanda. Dalam kurun tiga bulan, 500.000 sampai 1 juta orang etnis Hutu dan Tutsi telah terbunuh. Pemeritah Rwanda bertanggungjawab atas pembunuhan tersebut.
·         Pemerintahan Nazi Jerman bertanggungjawab atas pembantaian enam juta etnis Yahudi. Pembantaian dilakukan dalam kurun waktu 1930-1939.

F.         Proses Penegakkan HAM di Indonesia
            Secara normatif, penegakkan HAM di Indonesia mengacu dalam peraturan perundang-undangan. Dalam peraturan perundang-undangan RI terdapat empat bentuk hukum tertulis yang memuat aturan tentang HAM, yaitu.
1.      Undang-undang Dasar Negara (UUD 1945).
2.      Ketetapan MPR (TAP MPR).
3.      Undanag-undang.
4.      Peraturan pelaksanaan perundang-undangan, seperti peraturan pemerintah, keputusan presiden, dan peraturan pelaksana lainnya.
Peraturan HAM dalam Ketetapan MPR dapat dilihat dalam TAP MPR Nomor XVII Tahun 1998 tentang Pandangan dan Sikap Bangsa Indonesia terhadap HAM dan Piagam HAM Nasional serta TAP MPR Nomor VIII/MPR/2000 tentang Laporan Tahunan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2000. Pengaturan HAM juga dapat dilihat dalam berbagai undang-undang dan peraturan pemerintah yang pernah dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia. Undanag-undang dan peraturan pemerintah tersebut antara lain.
Undang-Undang
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan, Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tantang Kebebasan Menyatakan Pendapat
Undang-Undang Nomor 19 Tahhun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 105 tentang Penghapusan Kerja secara Paksa.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO  Nomor 138 tentang Usia Minimum bagi pekerja.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 1999 tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1963 tentang Tindak Pidana Subversi.
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 tahun 1999 tentang Pengadilan HAM.
Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 181 tahun 1998 tentang Pendirian Komisi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Wanita.
Keputusan Presiden nomor 129 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia tahun 1998-2003 yang memuat rencana ratifikasi berbagai instrument hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-bangsa serta berbagai tindak lanjutnya.
Keppres Nomor 31 tahun 2001 tentang Pembentukkan Pengadilan Hak Asasi Manusia pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Makasar.
Keputusan Presiden (Keppres) nomor 5 tahun 2001 tentang Pembentukkan Pengadilan Hak Asasi Manusia AdHoc pada Pengadilan Negeri Jakarta PUsat, yang diubah dengan Keppres nomor 96 tahun 2001.

            Menindaklanjuti Tap MPR Nomor VIII/MPR/2000, pada tanggal 23 November 2000 ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Sebagai peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 1999 tentang Tata Cara Perlindungan Terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1999 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat. Penerbitan kedua PP ini merupakan pelaksanaan dari pasal 34 ayat (3) dan 35 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
            Pelanggaran terhadap HAM dapat dilakukan baik oleh aparatur Negara (state-actors) maupun bukan aparatur Negara (non state-actors). Oleh karena itu, penindakan terhadap pelanggaran hak asasi manusia tidak boleh hanya ditujukan kepada aparatur negara, tetapi juga pelanggaran yang dilakukan bukan oleh aparatur negara. Penindakan terhadap pelanggar HAM tersebut dilakukan melalui proses peradilan secara nondiskriminatif dan berkeadilan.
            Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan  pengadilan umum. Pengadilan HAM berkedudukan di daerah kabupaten atau kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Pada Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pengadilan HAM berkedudukan di setiap wilayah Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran HAM berat. Pengadilan HAM juga berwenang memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran HAM oleh warga negara Indonesia dan dilakukan diluar batas territorial wilayah negara Republik Indonesia. Akan tetapi, pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur dibawah 18 tahun pada saat pelanggaran tersebut dilakukan. Pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara pengadilan HAM sebagaimana terdapat dalamUndang-Undang Pengadian HAM.
            Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM juga mengatur tentang Pengadilan HAM ad hoc. Pengadilan ad hoc berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang Pengadilan HAM. Pengadilan HAM ad hoc dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden. Pengadilan HAM ad hoc berada di lingkungan pengadilan umum. Pengadilan ad hoc lebih lanjut diatur dalam Keppres Nomor 96 Tahun2001 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
            Pada pasal 2 Keppres Nomor 96 Tahun 2001 dinyatakan bahwa Pengadilan HAM ad hoc tersebut berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor Timur dalam wilayah hukum Liquica, Dili, dan Suai  yang terjadi pada bulan April1999 dan bulan September 1999. Pengadilan HAM ad hoc juga berwenang memeriksa dan memutus perkara yang terjadi di Tanjung Priok pada bulan September 1984. Dengan demikian, perumusan ini lebih menyempurnakan rumusan dalam Keppers No. 53 Tahun 2001 yang hanya menyatakan bahwa pengadilan yang dimaksud berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timor Timur pascajajak pendapat dan yang terjadi di Tanjung Priok pada tahun 1984.
            Disamping adanya Pengadilan HAM ad hoc, Undang-Undang Pengadilan HAM juga menyebutkan keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Undang-Undang tentang Komisi kebenaran dan Rekonsiliasi (Undang-Undang KKR) telah disahkan oleh DPR RI pada tanggal 7 September 2004, yakni Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004.
            Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia beranggotakan 21 orang dengan susunan 3 orang pimpinan, 9 anggota subkomisi penyelidikan dan klarifikasi, 5 anggota subkomisi dan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi, dan 4 anggota subkomisi pertimbangan amnesti. Anggota dipilih oleh Presiden dengan persetujuan DPR melalui pembentukan Panitia Seleksi.
            Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi mempunyai tugas.
1.      Mengungkapkan kebenaran atas terjadinya pelanggaran HAM berat di masa lalu. Pengertian kebenaran dalam Undang-Undang KKR adalah kebenaran factual atas suatu peristiwa yang dapat diungkap tentang pelanggaran HAM yang berat, baik mengenai korban, pelaku, tempat, maupun waktu.
2.      Menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu dan melaksanakan rekonsiliasi. Penyelesaian pelanggaran HAM berdasarkan tahapan-tahapan tertentu, yaitu adanya pengungkapan kebenaran, pengakuan kesalahan, pemberian maaf, dan kemudian perdamaian. Tanpa adanya syarat-syarat tersebut, misalnya pelaku tidak mau mengakui kesalahannya serta tidak bersedia menyesali perbuatannya, maka tidak akan terjadi rekonsiliasi dan pelaku dapat diajukan ke pengadilan HAM ad hoc.
Penjelasan Umum Undang-Undang KKR menyatakan bahwa apabila pelaku mengakui kesalahan, mengakui kebenaran fakta-fakta, menyatakan penyesalan atas perbuatan yang dilakukan, dan bersedia meminta maaf kepada korban maka pelaku dapat mengajukan amnesti kepada presiden. Apabila permohonan amnesty tersebut beralasan, presiden dapat menerima permohonan tersebut dan kepada korban harus diberikan kompensasi atau rehabilitasi. Apabila permohonan amnesti ditolak, kompensasi atau rehabilitasi tidak diberikan oleh negara dan perkaranya ditindaklanjuti berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dengan menggunakan mekanisme pengadilan HAM.
Berikut ini beberapa konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dan dimasukkan ke dalam hokum nasional.
No.
Deklarasi Internasional
Hukum Nasional
1.
Konvensi Hak-Hak Politik Perempuan (1958).
Undang-Undang Nomor 68 Tahun 1958
2.
Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (1984).
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984
3.
Konvensi tentang Hak-Hak Anak (1990).
Keputusan presiden Nomor 36 Tahun 1990
4.
Konvensi Anti-Apartheid dalam Olahraga (1993).
Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 1993
5.
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahhkan Martabat Manusia (1998).
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998
6.
Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (1999).
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1999

G.        Partisipasi dalam Penegakan HAM di Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara
            Berdasarkan berbagai peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan, dapat dikemukakan beberapa langkah-langkah yang dapat dipilih baik oleh negara maupun masyarakat Indonesia dalam upaya menyelesaikan berbagai masalah terkait dengan pelanggaran HAM. Langkah-langkah tersebut antara lain.
1.      Melengkapi berbagai peraturan yang berkaitan dengan perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia. Langkah ini dilakukan dengan cara membentuk berbagai peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan yang materi muatannya berkaitan dengan perlindungan dan penegakkan HAM.
2.      Membentuk Pengadilan HAM dengan tujuan untuk mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Untuk beberapa kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lalu, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 telah mencanangkan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
3.      Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pembentukan komisi ini merupakan salah satu alternatif penyelesaian pelanggaran HAM berat. Dengan pembentukan komisi ini, proses penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM dapat dilakukan dengan meniru model dari negara-negara yang pernah menerapkan pembentukan komisi semacam ini.
4.      Peningkatan diseminasi dan pendidikan HAM. Langkah ini dilaksanakan antara lain dengan mengembangkan dan menyebarluaskan bahan-bahan pengajaran HAM.

Bentuk partisipasi masyarakat dalam penegakan HAM tersirat dalam visi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Visi dan misi Komnas HAM menyatakan bahwa pemajuan HAM di Indonesia tidak akan terwujud tanpa sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai dan norma-norma HAM kepada warga masyarakat.
Komnas HAM mempunyai fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi tentang HAM. Komnas HAM beranggotakan tokoh masyarakat yang professional, berdedikasi, dan berintegrasi tinggi. Komnas HAM berkedudukan di ibu kota negara dan perwakilan Komnas HAM dapat didirikan di daerah.
Anggota Komnas HAM berjumlah 35 orang. Anggota Komnas HAM dipilih oleh DPR dan diresmikan oleh presiden sebagai kepala negara. Setiap anggota Komnas HAM wajib menaati keputusan Komnas HAM dan peraturan yang berlaku. Selain itu, mereka juga harus berpartisipasi secara aktif dan sungguh-sungguh untuk mencapai tujuan Komnas HAM. Anggota Komnas HAM harus dapat menjaga kerahasiaan keterangan yang karena sifatnya rahasia Komnas HAM. Komnas HAM dipimpin oleh seorang ketua dan dua orang wakil ketua.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai pemantau masalah HAM, Komnas HAM juga bertugas dan berwenang untuk memberikan pendapat berdasarkan persetujuan ketua pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan. Pendapat Komnas HAM diperlukan apabila dalam perkara yang diperiksa tersebut terdapat indikasi terjadinya pelanggaran HAM. Kemudian pendapat Komnas HAM tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada pihak yang berwajib.
Penegakan HAM mempunyai relevansi dengan masyarakat madani karena nilai-nilai persamaan, kebebasan, dan keadilan yang terkandung dalam HAM dapat mendorong terciptanya masyarakat egaliter. Masyarakat egaliter merupakan cirri masyarakat madani. Dengan demikian, penegakan HAM merupakan prasyarat untuk menciptakan sebuah masyarakat madani. Dalam upaya mewujudkan masyarakat madani yang terpenting adalah masyarakat harus berada dalam posisi mandiri di hadapan kekuasaan negara. Di tengah masyarakat tersebut harus pula ditegakkan keadilan dan supremasi hukum sehingga terwujud kehidupan yang demokratis dan toleran.
Pengakuan adanya hak asasi pada seseorang berarti mengakui pula adanya kewajiban asasi semua orang untuk menghormati hak asasi yang dimiliki oleh orang lain. Batas HAM yang satu adalah hak asasi orang lain. Dengan demikian, hubungan antara hak dan kewajibanadalah resiprokal yang harmonis karena pengakuan hak pada pihak tertentu berimplikasi kewajiban pada pihak lain.