Sabtu, 12 Mei 2012

MAKALAH ZONA BEBAS PEKERJA ANAK : SOLUSI PEMBERANTASAN EKSPLOITASI PEKERJA ANAK DI INDONESIA


MAKALAH
ZONA BEBAS PEKERJA ANAK : SOLUSI PEMBERANTASAN EKSPLOITASI PEKERJA ANAK DI INDONESIA


Disusun untuk memenuhi tugas Take Home Exam
Mata Kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar AMBB 114

Dosen pembimbing :
Lumban Arofah ,S.Sos

Oleh :
Fitriani
A1C308030

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2009

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Fenomena pekerja anak merupakan gambaran betapa kompleks dan rumitnya permasalahan anak. Terlepas dari semua hal tersebut, penghargaan, penghormatan, serta perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) digaung- gaungkan di penjuru dunia. Sejak awal pendeklarasian HAM, berbagi bentuk peraturan yang bersifat universal telah dikeluarkan dalam rangka mendukung upaya perlindungan HAM di dunia. Upaya perlindungan juga diikuti dengan penegakan hukum demi terselenggaranya HAM yang konsisten. Jika kita berbicara fenomena pekerja anak, maka bidang HAM yang langsung bersinggungan adalah hak anak. Baik di dunia internasional maupun di Indonesia, masalah seputar kehidupan anak menjadi perhatian utama bagi masyarakat maupun pemerintah. Sangat banyak keadaan-keadaan ideal yang sebenarnya dapat menuntaskan permasalahan sosial ini. Namun, faktor-faktor lain seperti kegagalan dalam pranata sosial turut menunjukkan ketidakmampuan pemerintah.
Dalam konteksnya, sebenarnya anak mempunyai hak yang bersifat asasi sebagaimana yang dimiliki orang dewasa. Namun, perlindungan terhadapnya tidak sebombastis ketika masalah HAM yang menyangkut orang dewasa atau isu gender diumbar ke khalayak umum. Perlindungan terhadap hak anak tidak terlalu banyak dipikirkan pada umumnya. Begitu pula dengan langkah konkritnya, bahkan upaya perlindungan itu sendiri dilanggar oleh negara dan berbagai tempat di negeri ini, orang dewasa, bahkan orang tuanya sendiri. Banyak anak-anak yang berada di bawah umur menjadi objek dalam pelanggaran terhadap hak-hak anak akibat pembangunan ekonomi yang dilakukan . Di negara kita, pekerja anak dapat dilihat dengan mudah di pertigaan atau di perempatan jalan. Pandangan kita jelas tetuju pada sekelompok anak yang mengamen, mengemis, atau mengais rezeki di jalanan. Itu hanya sedikit dari betapa mirisnya kondisi anak-anak Indonesia. Masih banyak yang tidak terlihat jelas, upaya-upaya pengeksploitasian anak-anak di negeri ini bahkan dapat disejajarkan dengan tindakan kriminal. Mereka di eksploitasi sebagai pekerja kasar konstruksi dan tambang tradisional, penyelam mutiara, penculikan dan perdagangan anak, kekerasan aanak, penyiksaan anak dan bahkan pelacur komersial.
Anak, seyogyanya adalah gambaran dan cerminan masa depan, aset keluarga, agama, bangsa, negara dan merupakan generasi penerus di masa yang akan datang. Mereka berhak mendapatkan kebebasan, menikmati dunianya, dilindungi hak-hak mereka tanpa adanya pengabaian yang dilakukan oleh pihak tertentu yang ingin memanfaatkan kesempatan untuk mencari keuntungan pribadi.
Dari berbagai gejala sosial yang saat ini tengah muncul ke permukaaan, masalah pekerja anak kian menjadi perbincangan hangat dalam upaya perealisasian yang sebenarnya. Kesadaran kritis dirasa sangat diperlukan bagi kalangan civitas mahasiswa dalam membuka kembali cakrawala perhatian dan pengetahuan sosial yang ada. Sehingga tidak hanya kompeten dalam bidang keahlian, tetapi juga tanggap dalam membantu menyesuaikan arus perkembangan masyarakat, karena bagaimanapun, penerus bangsa ada di tangan- tangan mungil anak-anak Indonesia.

B.      Rumusan Masalah
Dalam perumusan masalah ini, permaslahan-permasalahan yang dibahas adalah sebagai berikut :
1.   Apakah definisi dari pekerja anak jika dihubungkan dengan hak dan kewajiban anak dalam keluarga?
2.   Bagaimana psikologi perkembanagn pekerja anak?
3.   Indikasi apa yang berkaitan dengan pekerja anak?
4.   Apa sajakah faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya pekerja anak?
5.   Bagaimana bentuk-bentuk pekerja anak yang ada di Indonesia?
6.   Bagaimana landasan hukum yang mengatur pelarangan pekerja anak di Indonesia?
7.   Bagaimana solusi efektif permasalahan pekerja anak serta usaha-usaha perlindungan pekerja anak di Indonesia?

C.      Tujuan
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan sebelumnya, tujuan dari permasalahan sosial yang diangkat anatara lain:
1.    Mengetahui faktor penyebab terjadinya pekerja anak, khususnya pekerja anak di Indonesia.
2.    Mengetahui indikasi yang melatarbelakangi pekerja anak di Indonesia.
3.    Mengetahui bentuk-bentuk pekerja anak yang ada di Indonesia.
4.    Mengetahui Kondisi Pekerja anak dan perkembangannya dari kurun waktu tertentu.
5.    Memahami langkah konkrit dalam penanggulangan peningkatan jumlah pekerja anak di Indonesia.
6.    Mengetahui Program percontohan ZBPA sebagai upaya operasional dam pencegahan pekerja anak.




 BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1)       Kerangka teori secara umum








1)       Definisi Umum
1. Definisi anak
     a. Penyajian secara histories
Yakni anggapan bangsa Yunani bahwa “ anak- anak dianggap sebagai manusia dewasa dengan ukuran kecil”. Disini dianggap seluruh sikap dan perilaku yang diberikan kepada anak-anak serta harapan dan tuntutan yang ditujukan kepada anak-anak disamakan dengan sikap dan perilaku serta harapan dan tuntutan yang ditujukan kepada orang dewasa.
Pandangan lain mengenai definisi anak yakni pada masa awal tersebarnya agama nasrani di Eropa menunjukkan ciri-ciri antara lain :
1)      Anak-anak mempunyai kecenderungan untuk menyimpang dari        hukum   dan ketertiban.
2)      Anak–anak lebih mudah belajar denga contoh daripada belajar dengan aturan.
3)      Anak-anak tidak sama dengan orang dewasa.

b. Menurut makna Yuridis
     Yakni berdasarkan Undang-Undang perlindungan anak (UUPA) No. 23 tahun 2002 yang dimaksud denga anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun ( termasuk anak dalam kandungan).
     Dari beberapa penyajian definisi anak dapat disimpulkan bahwa anak-anak merupakan masa sosialisasi yang belangsung secara efektif seseorang yang berumur diantara 5-18 tahun ( dibawah 5 tahun termasuk kategori anak karena masih disebut balita). Kecenderungan untuk menyimpang yang dipaparkan sebelumnya merupakan bentuk sosialisasi dari anak-anak dari. Dari segi fisik dan psikis jelas berbeda dengan orang dewasa, sehingga dalam hal ini tidak bisa disama artikan. Namun, sisi lain menggungkapkan bahwa pada masa ini anak–anak sudah mengalami korelasi yang positif serta sifat tunduk pada peraturan yang kemudian menjadi sangat realistis dengan berbagai kecenderungan-kecenderungan, seperti gemar membentuk kelompok dengan aturan-aturan sendiri dan lain-lain.
c.       Hak dan kewajban anak
                 Hak anak sebenarnya tercantum secara tegas dalam Undang-undang  Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Instrumen hukum yang mengatur perlindungan hak anak diatur dalam Konvensi PBB tentang hak-hak anak (Convention on The Right of The Child ) Tahun 1989, telah diratifikasi oleh lebih 191 negara. Indonesia sebagai anggota PBB telah meratifikasi keputusan Presiden   Nomor 36 tahun 1990. Dengan demikian konvensi PBB tentang hak anak tersebut telah menjadi hukum Indonesia dan mengikat seluruh warag Indonesia. Konvensi anak-anak merupakan instrument yang berisi perumusan  prinsip-prinsip universal dan ketentuan norma hukum mengenai anak. Konvensi hak anak merupakan sebuah perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia yang memasukkan hak-hak sipil dan politik, hak ekonomi, sosial dan budaya. Secara garis besar Konvensi  hak anak dapat dikategorikan sebagai berikut, pertama penegasan hak-hak anak, kedua perlindungan oleh Negara, ketiga peran serta berbagai pihak ( pemerintahan, masyarakat dan swasta) dalam menjamin penghormatan terhadap hak-hak anak. Ketentuan hukum mengenai hak-hak anak dalm konvensi hak anak dapat dikelompokkan menjadi :
a.                           Hak terhadap kelangsungan hidup(survival right)
Hak kelangsungan hidup berupa hak-hak untuk melestarikan ,mempertahankan hidup, hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi,dan perawatan sebaik-baiknya. Konsekuensinya menurut konvensi hak anak, Negara harus menjamin kelangsungan hak  hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan anak (Pasal 6). Disamping itu, Negara berkewajiban untuk menjamin hak atas taraf kesehatan tertinggi yang bisa dijangkau, dan melakukan pelayanan kesehatan dan pengobatan, khususnya perawatan kesehatan primer (paasal 24). Implementasinya pada pasal 24, Negara berkewajiban untuk melaksanakn program-program :
(1)     melaksanakan upaya penurunan angka kematian bayi dan anak,
(2)     menyediakan pelayaanan kesehatan yang diperlukan,
(3)     memberantas penyakit dan kekurangan gizi,
(4)     menyediakan pelayanan kesehatan sebelum dan sesudah melahirkan bagi ibu,
(5)     memperoleh informasi dan akses pada pendidikan dan mendapat dukungan pada pengetahuan dasar tentang kesehatan dan gizi,
(6)    mengembangkan perawatan kesehatan pencegahan, bimbingan bagi orang tua, serta penyuluhan keluarga berencana, dan
(7)    mengambil tindakan untuk menghilangkan praktik tradisional yang berprasangka buruk terhadap pelayanan kesehatan.
Terkait dengan itu, hak anak akan kelangsungan hidup dapat berupa :
(1)    hak anak untuk mendapatkan nama dan kewarganegaraan semenjak lahir (pasal 7)
(2)    hak anak untuk memperoleh perlindungan dan memulihkan kembali aspek dasar jati diri anak (nama, kewarganegarran, dan ikatan keluarga) (pasal 8)
(3)   hak anak untuk hidup bersama ( pasal 9) , dan hak untuk memperoleh perlindungan dari segala bentuk salah perlakuan (abuse) yang dilakukan orang tua atau orang lain yang bertanggung jawab atas pengasuhan (pasal 19),
(4)   hak untuk memperoleh perlindungan khusus bagi anak-anak yang kehilangan lingkungan keluarga dan menjamin pengusahaan keluarga atau penempatan institusional yang sesuai dengan mempertimbangkan latar belakang budaya anak (pasal 20),
(5)   adopsi anak hanya dibolehkan dan dilakukan demi kepentingan terbaik anak , dengan segala perlindungan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang (pasal 21)
(6)     hak-hak anak penyandang cacat untuk memperoleh pengasuhan, perlindungan, pendidikan, dan pelatihan khusus yang dirancang untuk membantu mereka demi mencapai tingkat kepercayaan diri yang tinggi.

b.        Hak terhadap perlindungan (protection right)
Yaitu perlindungan anak dari diskriminasi, tindak kekerasan dan ketelantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga, dan bagi anak pengungsi. Hak perlindungan ini antara lain :
(1)       perlindungan anak penyandang cacat untuk memperoleh pendididikan, perawatan,dan latihan khusus,
(2)   hak anak dari kelompok masyarakat minoritas dan penduduk asli dalm kehidupan masyarakat negara. Perlindungan dari eksploitasi meliputi perlindungan dari gangguan kehidupan pribadi,dari keterlibatan dalam pekerjaan yang dapat mengancam kesehatan dan lain- lain.
(3)   Perlindungan dari penyalahgunaan obat bius dan narkoba, perlindungan dari upaya penganiayaan seksual, prostitusi , dan pornografi,
(4)   Perlindungan upaya penjualan, penyelundupan, dan penculikan anak
(5)   Perlindungan dari proses hukum bagi anak yang didakwa atau diputus telah melakukan pelanggaran hukum.

c.      Hak untuk tumbuh kembang (development right)
Yaitu meliputi segala bentuk pendidikan formal maupun nonformal dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan sosial anak. Hak anak atas pendidikan diatur dalam pasal 28 konvensi hak anak menyebutkan :
(1)   Negara menjamin kewajiban pendidikan dasar dan menyediakan secara cuma-cuma
(2)   Mendorong pengembangan macam-macam bentuk pendidikan dan mudah dijangkau setiap anak
(3)   Membuat informasi dan bimbingan pendidikan dan keterampilan bagi anak , dan
(4)   Mengambil langkah-langkah untuk mendorong kehadirannya secara teratur di sekolah dan pengurangan angka putus sekolah.
Hak untuk berpartisipasi yaitu hak untuk menyatakan pendapat dalm segala hal seperti hak untuk mengetahui informasi serta mengeksprisikannya, hak untuk berserikat menjalin hubungan untuk bergabung, dan lain-lain.

3.  Makna pekerja anak dan hubungannnya dengan tugas perkembangan anak
                 Pekerja anak menurut Undang- Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 adalah anak-anak baik laki-laki maupun perempuan yang terlibat dalam kegiatan ekonomi yang mengganggu dan menghambat proses tumbuh kembang dan membahayakan bagi kesehatan fisik dan mental anak. Definisi lain menyebutkan bahwa pekerja anak adalah sebuah istilah untuk mempekerjakan anak kecil dengan gaji kecil dan dapat memiliki konotasi pengeksploitasian anak kecil atas tenaga mereka.
                 Dalam hal ini batasan yang ditentukan berhubungan dengan pekerja anak adalah usia dibawah 18 tahun dengan penentuan beberapa karakteristik umum anak misalnya, jenis kelamin, umur dan pendidikan. Karakteristik ketenaga kerjaan seperti jenis pekerjaan, status pekerjaan, jam kerja, dan imbalan kerja. Sedangkan karakteristik umum sosial yakni tempat tinggal dan kondisi keluarga.
                 Tindakan eksploitasi pekerja anak dilakukan karena dianggap produktif. Anak secara psikologis menerima otoritas orang tua dan guru sebgai suatu hal yang wajar. Dilihat dari tugas perkembangannnya pun anak-anak dibebani pada tugas-tugas perkembangan yang didasari tiga hal, yaitu kematangan fisik, rangsangan atau tuntutan dari masyarakat dan norma pribadi mengenai aspirasinya. Anak yang secara fisik dianggap sudah matang misalnya anak yang memilki postur tubuh yang besar dianggap sudah bias menerima tuntutan dari lingkungan baik orang tua maupun masyarakat.
                 Anak bisa dieksploitasi dengan bekerja tanpa menimbulkan masalah, menerima sedikit gaji tanpa protes, mudah diatur dan penurut. Fenomenanya adalah ketika tugas perkembangan anak dipaksa oleh realisme ekonomi keluarga. Anak dijadikan faktor ekonomi yang menunjang keberlangsungan keluarga agar mereka dapat hidup dengan mencukupi kebututhan dasarnya. Padahal, jika kita telaah tugas perkembangan anak secara umum menurut Havighurst ( dalam Hurlock,1980) meliputi :
a.        Mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan yang   umum.
b.        Membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sbagai makhluk yang sedang tumbuh.
c.        Belajar menyesuaikan diri dengan teman- teman seusianya.
d.       Mulai mengembangkan peranan social pria atau wanita yang tepat.
e.        Mengembangkan keterampilan dasar untuk membaca, menulis, dan berhitung.
f.         Mengembangkan pengertian yang diperlukan untuk kehidupan sehari- hari.
g.        Mengembangkan hati nurani, pengertian moral, dan tata tingkah laku nilai.
h.        Mengembangkan sikap terhadap kelompok sosial dan lembaga-lembaga.
i.          Mencapai kebebasan pribadi.

C.   Faktor penyebab terjadinya pekerja anak
            Pertambahan jumlah pekerja anak yang cenderung meningkat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :
1.        Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi merupakan pangkal utama dalam peningkatan jumlah pekerja anak. Harga bahan pokok yang semakin mahal, tingkat kebutuhan yang tinggi serta pengeluaran yang bertambah menuntut anak terjun untuk membantu mencukupi kebutuhan dasarnya. Sebagian kasus pekerja anak ini terjadi pada keluarga menengah kebawah. Kemiskinan yang dikaitkan dengan faktor ekonomi ini dihubungkan dengan masalah pendapatan. Max Nef et all mendefinisikan kemiskinan merupakn suatu kondisi dimana tidak terpenuhinya kebutuhan dasar individu sebagai manusia.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di tahun 2007 di Indonesia sebesar 37,17 juta orang atau 16,58 persn dari jumlah penduduk Indonesia. Dalam banyak kasus kemiskinan banyak menciptakan banyak pekerja anak, dan kemiskinan yang menggiring pekerja anak ke suatu titik dimana mereka nantinya juga akan melahirkan generasi baru yang sama atau mungkin lebih miskin dari mereka. Tanpa masa anak-anak , pada masa ketiak dasar-dasar kemampuan manusia dikembangkan. Kemiskinan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Menurut International Labour Organitation (ILO) pada tahun 2007 pekerja anak di Indonesia masih cukup besar yakni 2,6 juta jiwa. Anak-anak bekerja diberbagi sector dan bentuk pekerajaan. Namun, sebagian besar dari mereka bekerja di sektor pertanian keluarga dan di perusahaan manukfatur serta perdagangan skala kecil. Krisis ekonomi yang terjadi sejak 1997 telah mengubah struktur pekerja anak secara signifikan dalam pasar tenaga kerja. Terjadi informalisasi pekerja anak, jumlah anak-anak yang bekerja diberbagai sektor meningkat tajam, semua itu mencerminkan adanya gelombang pekerja anak yang memasuki sektor informal.
2.                 Factor migrasi
Banyaknya migrasi terutama urbanisasi yakni perpindahan penduduk dari desa ke kota meningkatkan jumlah pekerja anak. Hal ini disebabkan beberapa factor antara lain :
a.            Penduduk desa kebanyakn bahwa kota memiliki banyak pekerjaaan dan lebih mudah mendapatkan penghasilan. Hal ini karena sirkulasi uang di kota jauh lebih cepat dan lebih banyak, sehingga relatif lebih mudah mendapatkan uang daripada di desa.
b.           Usaha untuk mpekerjaan yang lebih sesuai dengan pendididkan, sebenarnya dilatarbelakangi oleh motif untuk mengangkat posisi sosial.
c.            Bagi beberapa kelompok, kota memberikan kesempatan untuk menghindarkan diri dari kontrol sosial yang terlalu ketat .
d.           Di kota lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan usaha kerajinan rumah menjadi kerajinan industri. Hal ini karena kota terdapat banyak sarana yang mendukung usaha tersebut.
e.            Kelebihan modal di kota lebih banyak daripada di desa.
f.            Kota merupakan tempat yang lebih menguntungkan untuk mengembangkan jiwa dengan sebaik-baiknya dan seluas-luasnya.
Beberapa penyebab meningkatnya jumlah pekerja anank terhadap factor migrasi, khususnya urbanisasi, diketahui bahwa ketidakpahaman mengenai urbanisasi itu sendiri dapat digunakan beberapa okn\m untuk menjebak ( khususnya pekerja anak) dalam pekerjaan yang di sewenang-wenagkan atau pekerjaan yang mirip perbudakan.
3.       Faktor Budaya
            Beberapa faktor budaya yang memberi kontribusi terhadap peningkatan jumlah pekerja anak antara lain :
a. Peran perempuan dalam keluarga
Meskipun norma-norma budaya menekankan bahwa tempat perempuan adalah di rumah sebagai istri dan ibu, juga diakui bahwa perempuan seringkali menjadi pencari nafkah tambahan/pelengkap buat kebutuhan keluarga. Rasa tanggung jawab dan kewajiban membuat banyak wanita bermigrasi untuk bekerja agar dapat membantu keluarga mereka. Ada beberapa kemungkinan disini. Pertama, pada masyarakat desa yang masih tertekan oleh adat-istiadat menganggap bahwa perempuan dapat dinikahkan secepatnya ketika sudah dianggap cukup waktunya, walaupun belum matang secara psikis maupun fisik. Hal ini mengakibatkan banyak anak-anak perempuan yang masih di bawah umur menanggung beban layaknya perempuan dewasa sebagai istri. Seperi sudah dijelaskan sebelumnya, perempuan juga sering diakui sebagi pencari nafkah pelengkap bagi keluarga. Ada dua variable sekaligus disini, anak perempuan yang masih di bawah umur di eksploitasi untuk berlaku layaknya perempuan dewasa sebagi seorang istri dan membantu tambahan nafkah bagi keluarga.
b.             Perkawinan dini
Perkawinan dini mempunyai implikasi yang serius bagi para anak perempuan termasuk bahaya kesehatan, putus sekolah, kesempatan ekonomi yang terbatas, gangguan perkembangan pribadi, dan seringkali, juga perceraian dini. Anak-anak perempuan yang sudah bercerai secara sah dianggap sebagai orang dewasa dan rentan terhadap trafiking disebabkan oleh kerapuhan ekonomi mereka.
c.         Sejarah pekerjaan karena jeratan hutang
 Praktek menyewakan tenaga anggota keluarga untuk melunasi pinjaman merupakan strategi penopang kehidupan keluarga yang dapat diterima oleh masyarakat. Orang yang ditempatkan sebagai buruh karena jeratan hutang khususnya, rentan terhadap kondisi-kondisi yang sewenang-wenang dan kondisi yang mirip dengan perbudakan.
d.         Peran anak  dalam keluarga
            Kepatuhan terhadap orang tua dan kewajiban untuk membantu keluarga membuat anak-anak rentan terhadap trafiking. Buruh/pekerja anak, anak bermigrasi untuk bekerja, dan buruh anak karena jeratan hutang dianggap sebagai strategi-strategi keuangan keluarga yang dapat diterima untuk dapat menopang kehidupan keuangan keluarga.
4.         Faktor kurangnya pencatatan kelahiran
Orang tanpa pengenal yang memadai lebih mudah menjadi mangsa trafiking karena usia dan kewarganegaraan mereka tidak terdokumentasi. Anak-anak yang dipekerjakan, biasanya lebih mudah diwalikan ke orang dewasa manapun yang memintanya. Dalam hal ini, ketidakmampuan Sistem Pendidikan Nasional yang ada maupun dalam masyarakat untuk mempertahankan agar anak tidak putus sekolah dan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi sangat besar. Sehingga anak-anak dilibatkan dalam hal kesempatan kerja dengan bermigrasi terlebih dahulu atau langsung terjun mencari pekerjaan yang tidak membutuhkan keahlian.
6.         Faktor Kontrol sosial
            Lemahnya kontrol sosial Pejabat penegak hukum dan imigrasi yang korup dapat disuap untuk tidak mempedulikan kegiatan-kegiatan yang bersifat kriminal. Para pejabat pemerintah juga disuap agar memberikan informasi yang tidak benar pada kartu tanda pengenal (KTP), akte kelahiran, dan paspor khususnya anak-anak dapt denagn mudah diwalikan atau bahkan diubah kewarganegaraannya.. Kurangnya budget/anggaran dana negara untuk menanggulangi usaha-usaha trafiking menghalangi kemampuan para penegak hukum untuk secara efektif menjerakan dan menuntut pelaku- pelakunya.

D.    Bentuk-bentuk pekerja anak
            Dunia internasional memberikan perhatian khusus terhadap bentuk-bentuk  terburuk dan sifat pekerja anak. sebagai negara yang pertama kali menanda tangani Konvensi ILO 182 tentang Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak (BPTA), pada tahun 2002 Indonesia telah menetapkan satu langkah yang signifikan kearah penghapusan pekerja anak, terutama jenis pekerjaan yang masuk dalam kategori pekerjaan terburuk untuk anak. keputusan presiden No. 59 tahun 2002 tentang rencana aksi nasional penghapusan Bentuk-Bentuk Terburuk Untuk Anak (BPTA) ada 13 bentuk pekerjaan.
Adapun 13 Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk anak adalah sebagai berikut:
1.      Mempekerjakan anak-anak sebagai pelacur;
2.      Mempekerjakan anak-anak di pertambangan;
3.      Mempekerjakan anak-anak sebagai penyelam mutiara;
4.      Mempekerjakan anak-anak di bidang kontruksi;
5.      Menugaskan anak-anak di anjungan penangkapan ikan lepas pantai (yang di  Indonesia disebut jermal);
6.      Mempekerjakan anak-anak sebagai pemulung;
7.      Melibatkan anak-anak dalam pembuatan dan kegiatan yang menggunakan bahan peledak;
8.      Mempekerjakan anak-anak di jalanan;
9.      Mempekerjakan anak-anak sebagai tulang punggung keluarga;
10.    Mempekerjakan anak-anak di industri rumah tangga; (cottage industries);
11.    Mempekerjakan anak-anak di perkebunan;
12.   Mempekerjakan anak-anak dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan   usaha penebangan kayu untuk industri atau mengolah kayu untuk bahan bangunan dan pengangkutan kayu gelondongan dan kayu olahan;
13.  Mempekerjakan anak-anak dalam berbagai industri dan kegiatan yang menggunakan bahan kimia berbahaya.
            Dan program aksi telah menetapkan 5 dari 13 jenis pekerjaan terburuk sebagai prioritas dalam lima tahun pertama pada pelaksanaan program yang direncanakan berlangsung selama 20 tahun kedepan. Kelima bentuk pekerjaan terburuk itu adalah :
1.      Anak-anak  yang terlibat dalam penjualan, produksi dan perdagangan narkoba.
2.      Anak-anak yang diperdagangkan untuk dijadikan pelacur (AYLA).
3.      Anak-anak yang bekerja di penangkapan ikan lepas pantai (Jermal).
4.      Anak-anak yang bekerja di sektor pertambangan.
5.      Anak-anak yang bekerja di sektor pembuatan alas kaki.
           
E.    Kondisi pekerja anak di Indonesia
            Sebelum melihat realitas yang terjadi sekarang dan mungkin pada masa yang akan datang, alangkah bijaknya kalau mengingat dan menelusuri konteks historis pekerja anak di Indonesia. Sehingga dapat diperoleh suatu gambaran yang mendekati utuh tentang dinamika pekerja anak dalam konteks sosial dan budaya Indonesia. Secara historis, kondisi pekerja anak di Indonesia mengalami berbagai kemajuan dan kemunduran baik dari aspek kuantitas maupun kualitasnya. Demikian halnya perhatian terhadap masalah inipun muncul dan tenggelam sangat tergantung pada persepsi dan sikap negara/pemerintah dan khususnya masyarakat terhadap masalah pekerja anak. Perkembangan dan perhatian dari masyarakat dunia pun tidak dapat dilepaskan dari faktor-faktor yang mempengaruhi dinamika perlindungan terhadap Pekerja Anak di Indonesia.
Dengan menggunakan pencanangan Deklarasi HAM dunia pada tahun 1948 (Universal Declaration of Human Rights, 1948) sebagai acauan waktu (time frame) dalam melakukan analisis, dinamika perlindungan anak di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 2 fase historis, yaitu masa sebelum deklarasi HAM dan masa setelah deklarasi HAM. Acuan waktu ini cukup penting bagi masyarakat dunia sebagai salah satu fase meningkatnya perhatian dan penghargaan terhadap hak-hak dasar manusia (nilai-nilai kemanusiaan). Pada masa ini pula upaya penghapusan imperialisme dan kolonialisme dunia mendapatkan perhatian dari masyarakat internasional. Batasan waktu inipun memiliki nilai penting bagi bangsa Indonesia sebagai salah satu gerbang menuju pada tertib hukum nasional yang dilandasi oleh nilai-nilai kemerdekaan dan keadilan sosial.
1.    Periode Sebelum Deklarasi HAM PBB
            Secara historis pada masa pemerintah kolonial Belanda, mayoritas anak-anak bangsa Indonesia asli (Bumiputra) tidak dapat mengenyam pendidikan formal, sehingga sebagian besar dari mereka harus bekerja pada pertanian-pertanian skala besar maupun industri-industri yang dikelola oleh Hindia Belanda (Geertz, 1971). Hanya sebagian kecil anak-anak orang Indonesia (priyayi dan bangsawan), maupun orang Golongan Timur Asing atau yang dipersamakan dengannya yang diperbolehkan mengikuti pendidikan-pendidikan formal. Perlakuan yang berbeda-beda terhadap berbagai golongan masyarakat yang ada di Indonesia, yang dituangkan dalam Indische Staatsregeling (131 IS) memberikan implikasi tidak hanya pada dualisme aturan/hukum yang dipergunakan, tetapi juga berdampak pada kehidupan sosial yang lebih luas, termasuk hak sosial dan politik. Kondisi masyarakat yang berlapis dan diskriminatif dengan lapisan atas yang jumlahnya sedikit (priyayi) dan sebagian terbesar pada lapisan bawah (wong cilik), mengakibatkan sebagian besar anak-anak Indonesia pada masa itu telah akrab dengan "bekerja" baik di sektor domestik maupun sektor publik yang bermotifkan pada membantu kehidupan keluarga (Mulder, 1996).Kemiskinan yang lekat dengan golongan lapisan bawah pada sebagian terbesar masyarakat Indonesia dijadikan sebuah alasan pembenar terhadap praktek-praktek mempekerjakan anak dalam usaha untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga, baik oleh orang tuanya sendiri maupun oleh pihak pengusaha. Mereka pada umumnya dipekerjakan di pabrik-pabrik Belanda seperti di pabrik gula, pabrik rokok (klobot), batik, teh, kopi, kulit, ubin/lantai, dan pabrik-pabrik lainnya dengan jam kerja antara 8 -10 jam sehari (Achdian dan Aminudin, 1995). Meskipun terdapat beberapa aturan hukum yang melarang mempekerjakan anak dibawah usia, seperti:
  1. Ordonantie 17 Desember 1925 (Staatsblad (Stb. No.647) yang diperbaharuhi dengan Ordonantie No. 9 tahun 1949 mengenai perubahan peraturan tentang pembatasan kerja anak-anak, dan
  2. Ordonantie 27 Februari 1926, (Stb. No. 87) mengenai peraturan tentang pekerjaan anak dan orang muda di kapal.
Akan tetapi aturan-aturan tersebut masih mengandung sikap ambivalensi. Sikap ambivalensi peraturan hukum tersebut terlihat dari adanya klausula pengecualian (discretion clausule) yang membuat kepastian hukum terhadap pelarangan mempekerjakan anak di bawah usia kerja menjadi kabur. Sebagai contoh, Pasal 2 Ordonantie 27 Februari 1926 menyebutkan:Anak dibawah umur 12 tahun tidak boleh menjalankan pekerjaan di kapal, kecuali bila ia bekerja di bawah pengawasan ahlinya atau seorang keluarga sampai derajat ketiga.   Demikian juga halnya pada Ordonantie 17 Desember 1925 yang memberikan batasan terhadap bidang-bidang pekerjaan yang tidak diperbolehkan untuk anak-anak .
Keadaan inilah yang antara lain memberikan celah hukum terhadap praktek pekerja anak di masa kolonial Belanda. Begitu pula dengan sikap sebagian besar masyarakat Indonesia terhadap praktek ini melalui proses enkulturasi "bekerja membantu orang tua" dan terbatasnya fasilitas pendidikan formal bagi mereka, yang telah menciptakan iklim yang subur terhadap praktek pekerja anak. Kondisi ini berlangsung hingga akhir abad ke 19, khususnya pada saat liberalisasi ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda dengan munculnya perkebunan-perkebunan raksasa swasta yang justru lebih menyengsarakan kehidupan para petani di Jawa dan meningkatnya eksploitasi terhadap pekerja anak (Geertz, dalam Koentjaraningrat, 1984).
Pada awal abad ke-20, sebagian kecil petani (lapisan bawah) dan orang-orang pribumi menyadari pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka. Mereka mulai mengirimkan anak-anak mereka pada sekolah-sekolah desa (Volkscholen), meskipun pendidikan formal untuk mereka masih sangat terbatas (Koentjaraningrat, 1984). Sikap ini telah merintis perbaikan terhadap kehidupan anak Indonesia. Setitik harapan buat masa depan anak Indonesia secara berangsur-angsur telah melahirkan beberapa generasi muda terpelajar pada masa awal abad 20-an, yang kemudian telah memberikan suatu momentum perjuangan Bangsa Indonesia untuk membebaskan diri dari kolonialisme dunia. Akan tetapi, sebagian terbesar anak-anak Indonesia khususnya yang berada di desa-desa masih terbelenggu oleh nilai-nilai dominannya (dominat values) yang secara kultural (culturally rooted) bekerja untuk membantu kehidupan keluarga, baik di sektor publik (pada umumnya laki-laki) maupun yang di sektor domestik (pada umumnya perempuan). Keadaan anak yang bekerja di desa-desa membantu kehidupan orang tua merupakan suatu pemandangan yang umum, bahkan para remaja pun telah keluar dari desanya untuk sekolah dan bekerja sebagai usaha untuk membiayai sekolah.
Tampaknya kemiskinan dan keterbatasan pendidikan masyarakat desa merupakan medium yang permisif terhadap praktek pekerja anak. Keadaan ini terutama diterima oleh sebagian besar anak perempuan, khusunya di Jawa. Stereotipe masyarakatnya masyarakat Jawa cenderung menso-sialisasikan anak perempuan untuk bekerja membantu pekerjaan di rumah (pada sektor domestik) dan tidak perlu untuk mengenyam pendidikan yang tinggi. Hal ini membuat terganggunya pertumbuhan dan perkembangan anak.
2.    Periode Setelah Dekalarasi HAM PBB
Dicanangkannya deklarasi HAM PBB tahun 1948 mendorongan peningkatan perhatian serius negara-negara di dunia, khususnya terhadap negara sedang berkembang dan terbelakang, untuk lebih meningkatkan pengakuan terhadap hak-hak dasar manusia. Hal inipun dibarengi dengan proses modernisasi dan industrialisasi yang terjadi, yang telah mendorong terjadinya pembangunan dalam berbagai bidang, serta dampaknya terhadap orang-orang yang kurang beruntung dan lemah seperti anak-anak yang terpaksa harus bekerja. Perhatian masyarakat dunia terhadap perlindungan anak telah mendorong sebuah infrastruktur kerja sama lintas negara seiring dengan perkembangan dunia menuju pada one world perspectives (Sinaga, 1997).
Pesatnya perkembangan dan pertumbuhan kota-kota di Indonesia sebagai akibat pembangunan memberikan dorongan terjadinya mobilitas penduduk desa menuju kota. Industrialisasi yang pada umumnya terjadi di kota-kota besar telah menciptakan berbagai lapangan pekerjaan yang membutuhkan banyak tenaga tidak terampil (unskilled labour) berpendidikan rendah. Keadaan ini mendorong terjadinya peningkatan migrasi penduduk desa menuju kota secara drastis, yaitu dari 17% pada tahun 1971 menjadi 31% pada tahun 1994 (BPS, 1996). Migrasi ini juga didorong oleh terjadinya fragmentasi tanah yang mengakibatkan terbatasnya sumber-sumber produksi penduduk desa, sehingga mereka berusaha untuk mencari penghasilan di kota.
Terbatasnya daya dukung untuk menciptakan infrastruktur kota terhadap pertumbuhan penduduk yang sangat cepat, mengakibatkan timbulnya daerah-daerah marginal yang rawan terhadap proses tumbuh kembang anak secara sehat. Pada umumnya mereka hidup pada bedeng-bedeng (tempat tinggal seadanya) di daerah-daerah yang terletak pada bantalan-bantalan sungai maupun di pinggir-pinggir kota, dan berkelompok secara genealogis. Terbatasnya penghasilan orang tua mereka dan perlakuan-perlakuan salah terhadap mereka (child abuse), pada umumnya merupakan faktor pendorong terhadap anak untuk bekerja. Hal ini juga didukung oleh berkembangnya mekanisme pasar tenaga kerja anak (Amrinal, 1998).
Kondisi yang tidak jauh berbeda juga terjadi di desa-desa, fragmentasi tanah setelah pelaksanaan Landreform 1960, dan pertumbuhan penduduk yang cepat mengakibatkan terjadinya proses marginalisasi kehidupan masyarakat desa. Sumber-sumber produksi yang terbatas di desa dengan jumlah penduduk yang bertambah mengakibatkan terjadinya pemerataan kemiskinan (shared poverty) secara struktural, yang secara langsung berakibat pada perkembangan anak. Permasalahan perlindungan terhadap pekerja anak pada satu sisi lekat dengan kondisi sosial ekonomi dari suatu masyarakatnya. Kemiskinan merupakan faktor kunci terhadap tumbuh kembang anak secara baik. Disisi lainnya penegakan hukum yang masih lemah, tidak hanya pada sisi perangkat hukumnya, akan tetapi juga pada terbatasnya pengetahuan aparat penegak hukum, menjadikan suatu simbiosis yang sangat mendorong terjadinya eksploitasi pekerja anak.
3.    Masa Resesi Ekonomi 1997
Masa ini secara khusus diperhitungkan sebagai salah satu fase yang akan menentukan perkembangan pekerja anak di Indonesia, mengingat dampaknya telah berpengaruh terhadap menurunnya tingkat pendapatan sebagian besar masyarakat Indonesia dan meningkatnya jumlah pengangguran terbuka. Menurunnya tingkat pendapatan penduduk yang berakhir dengan menurunnya konsumsi dan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, secara langsung berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak secara sehat. Resesi ekonomi yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997 seakan membuyarkan sebuah harapan akan menurunnya dan bahkan hapusnya eksploitasi pekerja anak di Indonesia. Menurunnya tingkat pendapatan masyarakat dan semakin meningkatnya jumlah pemutusan hubungan kerja secara mendadak, bukan tidak mungkin akan mengembalikan situasi kepada lingkungan masyarakat yang sangat permisif terhadap eksploitasi pekerja anak seperti yang terjadi pada periode awal setelah dicanangkannya deklarasi HAM.
Keadaan ini tentunya patut mendapatkan perhatian, baik dari pemerintah dan khususnya dari masyarakat melalui LSM-nya. Pengembangan dan penerapan berbagai program yang tepat dan terarah diharapkan dapat meng-antisipasi keadaan agar tidak menuju pada kondisi yang lebih buruk.
F.    Landasan Hukum Pelarangan Pekerja anak
            Dalam beberapa dekade terakhir, pemerintah Iindonesia telah berhasil meningkatkan akses masyarakat  terhadap pendidikan. Namun, kemiskinan dan faktor lainnya telah menyebabkan anak- anak putus sekolah dan mendorong mereka masuk dalam angkatan kerja sbelum menyelaeseikan pendidikan dasar. Banyak anak-anak yang rentan terlibat dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Untuk mengatasi hal ini , berbagai peraturan perundangan baru di Indonesia telah mengakui bahwa anak usia dibawah 18 tahun membutuhkan perlindungan khusus terhadap bahaya pekerjaan dan eksploitasi. Peraturan perundangan tersebut antara lain :
1.        Kepres No. 59 Tahun 2002 tentang rencana aksi nasional (RAN) penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk  untuk Anak (BPTA).
2. Undang-Undang Perlindungan Anak (UU PA ) ynag bertujuan untuk melindungi anak dari eksploitasi dan seksual.
3.    Undang- Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 yang memberikan kerangkan hukum baru mengenai pekerjaaan bagi anak-anak berusia dibawah 18 tahun.
4.    Kebijakan pemerintah yang ditujukan untuk menjamin bahwa anak-anak harus menyelesaikan pendidikan dasar 15 tahun.
5.    Undang-Undang No. 21 tahn 2007 tentang pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) yang memberikan perlindungan terhadap anak-anak yang diperdagangkan dan dieksploitasi.
6.    UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak yang memberikan kewajiban, tanggung jawab dan peran kepada negara dalam melindungi anak-anak.
7.    UU No. 20 tahun 1990 tentang pengesahan konvensi mengenai usia minimal anak diperbolekan bekerja.
8.  UU No. 1 tahun 2000 tentang pengesahan konvensi ILO No. 182 mengenai pelarangan dan tindakaan segera penghapusan bentuk- bentuk pekerjaan terburu anak.


 
            BAB III
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Analisis permasalahan Pekerja Anak
1. Indikasi dan dampak pekerja anak
            Permasalahan pekerja anak merupakan salah satu dimensi penelantaran hak anak untuk tumbuh dan berkembang secara wajar. Interpretasinya, bukan berarti anak tidak boleh bekerja sama sekali. Dalam rangka mendidik dan melatih anaka untuk mandiri, harus dilakukan pembiasaan dengan melakukan pekerjaan untuk membantu orang tua disamping belajar. Namun, ketika terjadi eksploitasi secara ekonomi pada anak , hal ini dianggap bertentangan dengan hukum dan hak anak.
            Indikasi terjadinya ekploitasi terhadap anak bisa dilihat dari anatara lain :
a. Anak bekerja dibawah ancaman atau bujuk rayu pihak tertentu
Hal ini dapat diidentifikasikan dari faktor budaya yang menjadi salah satu penyebab terjadinya pengeksploitasiaan pekerja anak. Salah satunya peran anak dalam keluarga. Tidak ada larangan yang jelas dalam masyarakat untuk melarang mempekerjakan anak. Anak bekerja atas dasar bujuk rayu pihak tertentu, seperti halnya orang tua.anak bias saja mendapat ancaman apabila tidak bersedia bekerja dengan dalih membantu perekonomian keluarag. Indikasi lain yaitu anak yang bekerja diiming-imingi pekerjaan yang menjanjikan kehidupan mereka, sehingga pada situasi seperti ini anak sama sekali tidak punya pilihan.

b. Jam kerja yang panjang seperti orang dewasa
Batas minimum anak bekerja adalah dengan syarat empat jam kerja. Indikasi ini mudah sekali terlihat karena umumnya para pekerja anak bekerja pada sector informal ,seperti pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak yang sudah dijelaskan.kesehatan dan mental psikologi merupakan salah satu efek yang terlihat dari indikasi ini.
c. Anak tidak dapat mnerima hak tumbuh dan berkembangnya secara wajar
Indikasi ini jelas, saat ugas perkembangan anak menekankan proses pembelajaran dan sosialisasi, pekerja aank menitikberatkan anak untuk bekerja sehingga terbengkalainya hak- hak anak. Hal ini terlihat, ketika pada saat jam sekolah banyak anak-anak yang masih bekerja seperti mengamen, pemulung, pengemis dan lain-lain. Contoh lain yang lebih spesifik yaitu pekerja anak di sektor informal seperti pada penangkapan ikan lepas pantai. Tidak jarang anak-anak dipekerjakan untuk mengangkat jala yang berat dan sangat membahayakan jiwa mereka terutama untuk tumbuh dan kembang anak tersebut.
d. Upah yang rendah dan tidak sesuai dengan asas kemanusiaan.
Pada tugas perkembangan secara psikologis, anak mendapat otoritas dari orang tua maupun orang dewasa sekitarnya. Dengan mempekerjakan anak, dianggap bisa menguntungkan. Di satu sisi tenaga mereka dapat digunakan dengan membayar upah yang minimum. Di sisi lain, anak bisa diatur dengan mudah.
Mengenai asas kemanusiaan, indikasi pekerjaan pekerja anak memang secara keseluruhan merupakan bentuk pekerjaan terburuk anak dan tidak sesuai dengan asas kemanusiaan maupun hak anak.
  1. Jenis pekerja anak masuk kategori yang membahayakan seperti ditetapkan dalam UU No.1/2000 tentang pengesahan konvensi ILO No. 182 mengenai pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak.
  2. Usia anak masih terlalu muda sebagaimana ketentuan UU No. 20/ 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO mengenai usia minimum diperbolehkan bekerja.

2.  Data statistik pekerja anak di Indonesia pada beberapa waktu tertentu serta analisisnya
      a. Perbandingan jumlah anak pada tahun 1961 dan 1992 di Indonesia
                Berikut disajikan tabel yang sesuai mengenai kondisi jumlah anak di Indonesia dengan umur 10- 14 tahun.
      Tabel: Perbandingan Jumlah Anak pada Tahun 1961 dan 1992

Sumber: diolah dari Biro Pusat Statistik (1963 dan 1993)
Data statistik menunjukkan bahwa pada tahun 1992, terdapat kurang lebih 2,5 juta pekerja yang berusia antara 10 - 14 tahun. Angka ini belum termasuk mereka yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, dan yang mencari kerja yang berjumlah kurang lebih 1,2 juta anak. Secara total, anak yang bekerja dan telah meninggalkan sekolah berjumlah kurang lebih 3,7 juta (11,5%).
Dari tabel di atas terlihat bahwa meskipun jumlah pekerja anak meningkat, secara persentase mengalami penurunan. Pertumbuhan anak sekolah meningkat baik secara jumlah maupun persentasenya. Pertumbuhan ini erat kaitannya dengan program wajib belajar dari pemerintah. Meskipun persentase perkembangan pekerja anak menurun, industrialisasi yang terjadi telah meningkatkan tingkat ancaman terhadap pekerja anak di Indonesia. Hal tersebut juga mendorong meningkatnya perkembangan pasar tenaga kerja anak yang menjadikan anak sebagai suatu komoditas yang dianggap lebih menguntungkan bagi sebagian pengusaha, karena rendahnya tingkat pendidikan dan tuntutan mereka.
Pekerja anak pada umumnya bekerja di berbagai bidang pekerjaan, baik sektor formal maupun informal. Pada umumnya mereka yang bekerja di pabrik konveksi, rokok, dan sebagai pembantu rumah tangga adalah anak perempuan; sedangkan mereka yang bekerja di sektor-sektor informal adalah anak laki-laki yang umumnya telah putus sekolah (Rilantaro, 1984, dalam White dan Tjandraningsih, 1998). Sektor-sektor bidang pekerja anak pada umumnya merupakan bidang-bidang marginal dan tidak memerlukan keterampilan khusus, seperti menjadi pembantu rumah tangga, buruh pabrik, buruh pada jermal-jermal, penjual koran, kuli angkut, penjual kaki lima, prostitusi, dan pekerjaan seadanya (serabutan) lainnya. Hampir keseluruhan pekerja anak bermotifkan ekonomi, yang didasari oleh keterbatasan/ ketiadaan biaya orang tua untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka (Irwanto, 1996, dalam White dan Tjandraningsih, 1998).
Diratifikasinya hak-hak anak melalui KEPPRES No. 36 tahun 1990 diharapkan memberikan dampak positif terhadap usaha perlindungan anak, khususnya terhadap pekerja anak dalam konteks kerja sama Internasional. Mengingat permasalahan perlindungan anak berkaitan erat dengan berbagai aspek yang bersumber pada usaha-usaha untuk mengurangi tingkat kemiskinan (poverty elevation) dan meningkatkan program wajib belajar (compulsory education), dukungan teknis maupun financial masyarakat Internasional sangat dibutuhkan untuk menghilangkan/mengurangi pekerja anak di Indonesia (elimination of child labour).
B. Solusi Permasalahan Pekerja Anak di Indonesia
1.Alternatif solusi : Program Percontohan Zona Bebas Pekerja Anak
            Program percontohan Zona Bebas Pekerja Anak (ZBPA) merupakan program yang mencanangkan suatu daerah sebagai zona bebas pekerja anak. Program ini dipelopori oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai komitmen untuk memprioritaskan pendidikan untuk meningkatkan sumber daya manusia Kutai Kartanegara. Pencanangan daerah ZBPA  ini merupakan suatu kebijakan politik yang revolusioner dalm menghapus pekerja anak yang pertama di Indonesia bahkan di dunia.
            ZBPA ini dideklarasikan oleh Bupati Kutai Kartanegara Prof. Dr. H. Syaukani HR dalam rangka konsekuensi logis denga diratifikasinya ILO No. 138 dengan UU No. 20 tahun 1999. Tentang Batas Usia Minimum Anak di perbolehkan kerja, serta konvensi ILO 182 dengan UU. No. 1/2000 tentang Penghapusan Pekerjaan Terburuk untuk Anak.
Kutai Kartanegara memelopori sebagai Kabupaten percontohan ZBPA, karena wilayah ini dinilai memiliki komitmen politik yang kuat tentang pendidikan, pengembangan ekonomi dan pelayanan sosial melalui Program Gerbang Dayaku yang memiliki tiga prioritas, yakni Pengembangan SDM, Ekonomi Kerakyatan dan Pelayanan Sosial.
Kesungguhan Pemkab Kukar memberlakukan ZBPA dikukuhkan dalam Perda No. 9 Tahun 2004, yang akan diberlakukan efektif tahun 2008. Dalam Perda itu ditegaskan bahwa setiap anak berusia 15 tahun ke bawah harus bersekolah. Tidak boleh diberhentikan sekolah oleh orang tua karena dipekerjakan untuk kepentingan ekonomi keluarga. Barangsiapa (orang tua/perusahaan) memberhentikan sekolah anak 15 tahun ke bawah dan dipekerjakan adalah melanggar Perda dan dikenakan sanksi enam bulan kurungan badan atau denda Rp 5juta.Pemkab Kukar mendeklarasikan target ZBPA: Tahun 2008 tidak ada lagi pekerja anak di bawah usia 15 tahun dan seluruhnya memperoleh pendidikan dasar 9 tahun; Tahun 2010 tidak ada lagi pekerja anak di bawah usia 18 tahun dan pada tahun 2012 seluruh anak akan memperoleh pendidikan dasar 12 tahun.

a. Sasaran Program percontohan ZBPA
            Sasaran ZBPA adalah anak-anak berisiko tinggi yaitu: Anak-anak dari keluarga miskin; Anak-anak dari keluarga dengan jumlah anggota banyak; Anak-anak dengan orangtua tunggal dan yatim-piatu; Anak-anak yang orangtua atau saudara kandungnya pernah menjadi pekerja anak; dan, Anak-anak penduduk asli atau suku tertentu yang memiliki hambatan sosial dan budaya.

b. Target Program percontohan ZBPA
Target operasional ZBPA adalah tidak ada lagi pekerja anak di bawah usia 15 tahun (2007); Tidak ada lagi segala bentuk pekerjaan terburuk untuk anak (2009); Anak-anak di bawah usia 18 tahun memperoleh wajib belajar pendidikan dasar 12 tahun (2010).

c.Kebijakan Program percontohan ZBPA
            Berdasarkan asumsi strategis yang tertuang dalam Renstra ZBPA , maka kebijakan yang ditempuh untuk mencegah dan menghapus pekerja anak di kutai Kartanegara, sebagai berikut : (1) Meningkatkan kualitas dan kesejahteraan anak melalui upaya peningkatan kesadaran pengetahuan dan kemampuan masyarakat dalam mengembangkan potensi anak. (2) Meningkatkan akses dan memperkuat kuantitas dan kualitas pendidikan formal dan nonformal. (3). Melakukan kerja sama dan meningkatkan kesadaran akan masalah pekerja anak dan hak anak untuk mendapatkan pendidikan. (4) Mengintegrasikan masalah pekerja anak ke dalam program dan anggaran untuk kebijakan perkembangan ekonomi.
            Kebijakan-kebijakan ini didukung pula pada program –program Gerbang Dayaku yang relevan dengan masalah pekerja anak diantaranya :
(1)   Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pengembangan SDM dilakukan antara lain dengan Program Pembebasan SPP dan BP3 yang dijalankan sejak tahun 2001. Untuk tingkat SD mendapatkan Rp. 5.000,- per orang, untuk tingkat SLTP sebesar Rp. 17.500 per orang dan SLTA sebesar Rp. 22.500 per orang. Sedangkan untuk perguruan tinggi mendapatkan subsidi Rp. 100.000 per orang.
Sementara untuk meningkatkan kualifikasi guru SD, SLTP dan SLTA Pemkab Kukar juga mengeluarkan subsidi dalam pemberian tugas belajar mulai program D2 sampai dengan S1. Program ini setahun merekrut 100 orang guru dari 18 Kecamatan se Kabupaten Kutai Kartanegara.Sedangkan untuk mendorong kinerja guru, Pemkab Kukar juga memberikan insentif kepada 7.000 guru negeri dan swasta di seluruh Kutai Kartanegara sebesar Rp. 500.000,-per bulan dan memberikan fasilitas berupa sepeda motor untuk kepala sekolah.
Program kejar paket A dan B untuk anak putus sekolah juga dijalankan dengan Dinas Pendidikan Luar Sekolah. Tujuannya untuk memberikan keterampilan untuk masa depannya, misalnya keterampilan pengolahan sabut dan tempurung kelapa.
Dilakukan juga program bimbingan dan penyantunan anak terlantar. Keterampilan diberikan tergantung minat peserta seperti bengkel, sablon, menjahit, tata rias dan elektro. Untuk program ini anak dipantikan selama enam bulan. Kemudian memberikan keterampilan bagi anak-anak dari keluarga pra-sejahtera berupa pemberian modal usaha (lahan dan barang).
Selain itu, melalui program wajib belajar Dinas Pendidikan Nasional melakukan penyuluhan keluarga. Bertujuan untuk mengurangi absensi anak ketika harus bekerja di musim panen dan mengurangai tingkat drop out.Sementara jaminan sosial (SWTM) bagi anak dan penduduk miskin yang lanjut usia diberikan sebesar Rp. 100.000 per bulan. Juga ada peyediaan alat transport berupa bus sekolah.
(2)   Pengembangan Ekonomi Kerakyatan
Pengembangan Ekonomi Kerkayatan dicanangkan dengan pemberian kredit usaha kecil perdesaan bagi individu dan masyarakat sebesar Rp. 500 juta per desa, bekerjasama dengan BPD. Pemda menitipkan modal di bank tersebut untuk dikelola. Masyarakat bisa meminjam modal tersebut dengan jumlah berdasarkan penilaian bank. Pinjaman ini tidak berbunga. Sementara persyaratanya pun disederhanakan. Hal ini untuk mendidik masyarakat berjiwa wiraswasta.
(3)   Pengembanagn Infrastruktur
Pengembangan Infrastruktur dimaksud adalah pengembangan infrastruktur perdesaan yang diarahkan melalui kegiatan-kegiatan: a) pembangunan perumahan dan lingkungan pemukiman, misalnya sanitasi lingkungan, MCK, drainase, dan b) prasarana perhubungan semenisasi jalan desa, jembatan dan tambahan perahu.

(4)   Rehabilitasi
rehabilitasi dicanangkan untuk menyelamatkan anak-anak yang bekerja di sektor-sektor yang termasuk dalam bentuk-bnetuk terburuk pekerjaan anak. Mereka diberikan pertolongan dengan rehabilitasi. Salah satu bentuk rehabilitasi yang relatif mudah dilaksanakan dengan yang relatif murah terjangkau adalah rehabilitas dalam masyarakat (community based rehabilitation) di mana masyarakat secara bersama-sama dan partisipatif ikut meberikan pertolongan kepada anak-anak yang diselamatkan dari pekerja-pekerja yang berbahaya. Strategi pendekatan komunitas ini sesuai dengan strategi Gerbang Dayaku dalam pembangunan wilayah perdesaan dan perkotaan.

d. Faktor penghambat program Percontohan ZBPA
            Menurut Bupati Kukar Syaukani HR, permasalahan pekerja anak dan bentuk-bentuk terburuknya selain disebabkan oleh faktor kemiskinan, juga dapat akibatkan faktor budaya, kebiasaan dan lain sebagainya. Dari hasil monitoring dan pendataan pekerja anak yang dilakukan di Kabupaten Kutai Kartanegara, maka ada beberapa faktor yang menyebabkan anak terpaksa berkerja, antara lain:
(1) Alasan ekonomi;ketika kondisi keluarga terancam oleh minimnya sumber daya ekonomi yang dihasilkan kepala keluarga.
(2) Kebiasaan di beberapa kelompok masyarakat yang menganggap bahwa anak-anak harus memikul tanggung jawab keluarga dengan cara berpartisipasi dalam pekerjaan yang dilakukan orang tua mereka.
(3) Alasan budaya; tidak ada larangan membantu orang tua untuk bekerja, Hal ini telah terjadi turun temurun.
(4) Banyaknya jumlah tanggungan dalam keluarga yang memaksa anak untuk memasuki dunia kerja.
(5) Tidak dapat melanjutkan pendidikan (drop out) dengan alasan yang sifatnya pribadi, malas, dipengaruhi teman atau sudah menikah.

e. Upaya Operasional ZBPA serta sosialisasinya
            Guna mencapai keberhasilan program penghapusan pekerja anak, maka sesuai dengan Perda No.9 tahun 2004 program aksi ZBPA di Kabupaten Kutai Kartanegara dengan target waktu selama 7 tahun yang dimulai tahun 2002-2009 dengan tahapan kegiatan mencakup 18 Kecamatan.
Tahap pertama (2002-2004), meliputi Kecamatan Tenggarong, Loa Janan, Samboja, Muara Jawa, Kota Bangun, dan Muara Muntai.
Tahap Kedua (2004-2006), meliputi Kecamatan Tenggarong Seberang, Anggana, Marang Kayu, Muara Wis, Sebulu, dan Muara Kaman.
Tahap Ketiga (2006-2008), meliputi Kecamatan Loa Kulu, Sanga-Sanga, Muara Badak, Kenohan, Kembang Janggut, dan Tabang.
Tahap Keempat (2008-2009), merupakan pemantapan dan evaluasi atau kajian kegiatan dari tahun 2002-2008.
Untuk lebih menunjang program aksi sebagaimana tahapan di atas, maka peluang-peluang yang dapat diraih ke depan berupa tujuan-tujuan yang hendak dicapai mencakup peningkatkan pengetahuan dasar. Kebijakan pendidikan dan pelatihan sesuai dengan kebutuhan anak laki dan perempuan yang terlibat atau yang berisiko. Mengembangkan perubahan perilaku dan sikap. Meningkatkan kondisi sosial ekonomi dan kesempatan bagi keluarga miskin yang terlibat dan berisiko.Melakukan kajian dasar, dan engelola data base. Menyediakan pendidikan non formal untuk anak-anak. Menyediakan bea siswa untuk anak yang terlibat dan berisiko. Mengajar life skiil untuk anak-anak. Memperbaiki kesejahteraan guru dan kaum profesional. Membangun prasarana pendidikan. Meningkatkan pemahaman akan ZBPA. Meningkatkan keikutsertaan masyarakat dan pihak terkait. Memperkuat dukungan terhadap pelaksanaan ZBPA. Mengajarkan life skiil utk orang tua.
SosialisasiZBPA
Program Zona Bebas Pekerja Anak (ZBPA) di Kukar, mendapat perhatian banyak kalangan baik di tingkat nasional maupun internasional. Kabag Humas dan Protokol Pemkab Kukar Dra Sri Wahyuni, MPP mengatakan respons positif juga ditunjukkan semua lapisan masyarakat Kukar, termasuk 622 perusahaan yang beroperasi.Sosialisasi ZBPA yang demikian intensif dilakukan Pemkab Kukar mulai dari tingkat kabupaten, kecamatan sampai tingkat desa. Ribuan stiker disebar dan ditempel di rumah-rumah penduduk. Beberaba baliho berukuran besar terpampang di banyak tempat. Sejumlah perusahaan juga ikut berpartisipasi menyosialisasikan ZBPA yang diatur dalam Perda Nomor 09 Tahun 2004 yang antara lain mengatur setiap anak usia 15 tahun ke bawah harus bersekolah. Perda itu antara lain mengatur, apabila ada orangtua menghentikan anaknya sekolah karena dipekerja-kan untuk kepentingan ekonomi keluarga, akan dikenakan sanksi kurungan badan 6 bulan atau denda Rp 5 juta.
Menurut Kabag Humas dan Protokol Pemkab Kukar Dra Sri Wahyuni, MPP, sosialisasi ZBPA itu membuahkan hasil dengan semakin menurunnya jumlah anak yang bekerja di daerah ini. Seperti di Kecamatan Sebulu, jumlah pekerja anak pada 2005 tercatat 126, turun menjadi 55 orang pada pertengahan 2006 dan memasuki 2007 tinggal 13 orang.
2. Implementasi Program percontohan ZBPA pada pemerintah Daerah di Tingkat Kabupaten atau Provinsi di Indonesia.
Seperti kita ketahui stiap daerah pemerintah Kabupaten maupun Provinsi di Indonesia memiliki kemampuan masing-masing dalam upaya pencegahan pekerja anak. Hal ini tentu saja didorong oleh kebijakan dari pemerintah daerah sesrta anggaran yang dibutuhkan dalam pelaksanaan operasionalnya pada program-program terkait yang akan dijalankan.
Pada program percontohan ZBPA di Kabupaten Kutai Kartanegara, diketahuI bahwa kebijakan dalam pencegahannya dititik beratkan pada sektor pendidikan. Dimana Pemda terkait melakukan pembebasan SPP dan BP3 agar seluruh anak memperoleh pendidikan dasar 9 tahun, pemberian beasiswa subsidi kepada pelajar serta meningkatkan kulaifikasi guru dalam kinerjanya. Secara formal, kebijakan-kebijakan memang sangat didukung oleh anggaran yang disediakan, karena seperti kita ketahui bahwa  Kutai Kartanegara merupakan salah satu kabupaten terkaya di Idonesia. Lantas, bagaimana dengan daerah-daerah lain yang mungkin memiliki kemampuan dalam segi anggaran?. Solusinya adalah pertama, tetap konsisten pada pendidikan wajib belajar 9 tahun yang telah di standarkan. Dalam hal ini, upaya khusus yang perlu dilakukan sebenarnya sama saja, diantaranya :
a. mengajak kembali pekerja anak yang putus sekolah ke bangku sekolah dengan
memberikan bantuan beasiswa;
b. memberikan pendidikan nonformal;
c. mengadakan keterampilan bagi anak , pembiayaan atau penanggulangan pekerja anak bisa dilakukan oleh masyarakat yang peduli terhadap kesejahteraan anak APBN, APBD bantuan luar negeri maupun sumber yang sah dan tidak mengikat.
            Disisi lain peran LSM juga sangat penting , yakni sebagai lembaga nonpemerintah yang memiliki komitmen terhadap pemberdayaan kaum lemah dan tertindas. LSM telah memberikan suatu kontribusi yang sangat besar dalam mewujudkan suatu masyarakat yang berkeadilan sosial. Tanpa adanya dorongan advokasi, baik melalui lembaga-lembaga yuridis (yudicial settlement) maupun lembaga non-yuridis (non-yudicial settlement) seperti: class action, dorongan moral (moral force) dan berbagai fungsi mediasi yang dilakukan oleh berbagai LSM, kecil kemungkinan eksploitasi pekerja anak muncul menjadi isu nasional bahkan internasional. Berkembangnya jumlah LSM yang secara aktif menaruh perhatian pada perlindungan anak di Indonesia, khususnya terhadap pekerja anak, telah menghasilkan berbagai hasil studi yang sangat positif sebagai dokumen yang sangat langka dalam perbendaharaan perpustakaan di Indonesia. LSM yang aktif memperjuangkan penghapusan eksploitasi pekerja anak di Indonesia antara lain adalah:
  1. Anti-Slavery International (ASI);
  2. Lembaga Pengkajian Sosial "Humana" (GIRLI);
  3. The Indonesian Child Advocacy Institute (LAAI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI);
  4. Perkumpulan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak (P4A);
  5. International Programme on the Elimination of Child Labour IPEC - ILO ; dan
  6. Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia.
Meskipun demikian, masih terdapat berbagai LSM yang tidak secara khusus memfokuskan pada perlindungan pekerja anak di Indonesia akan tetapi memasukkan hal tersebut sebagai salah satu programnya. LSM seperti ini antara lain: Yayasan Rumah Singgah, Suara Ibu Peduli (SIP), dan Lembaga Perlindungan Anak.
Dengan telah diratifikasinya konvensi tentang Hak-hak Anak (convention on the rights of child), Indonesia terikat dalam suatu jaringan perlindungan anak dunia yang berada dibawah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Konvensi tersebut kemudian akan dituangkan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak.
            Perkembangan yang lain yang  bisa dilihat adalah mengenai perkembangan ekonomi kerakyatan sebagai upaya pengentasan kemiskinan yang menjadi faktor utama meningkatnya pekerja anak. Seperti kita ketahui, pemerintah telah mencanangkan program keluarga harapan yang merupakan akses dari Program KB dengan berbagai pelayanan kesehatan gratis yang sudah dijalankan dan tersedia diseluruh wilayah di Indonesia seperti Program Puskesmas dan Posyandu yang melayani kesehatan ibu hamil dan program imunisasi.
            Program lain adalah PNPM Mandiri sebagi program pengembangan infrastruktur yang dikucurkan pemerintah pusat ke daerah-daerah serta adanya pinjaman lunak bersyarat kepada masyarakat, program BLT, dan lain sebagainya.
            Sebagai tambahan juga adanya program rumah singgah dalam penangggulanagan masalah pekerja anak. Hal ini terkait dengan beberapa deartemen lain seperti Departemen Sosial (Kementrian) Kesejahteraan Rakyat, Depnaker dan transmigrasi serta Kementrian Pemberdayaan Perempuan.
            Dan terakhir yakni usaha pengangkatan anak sebagai upaya perlindungan pekerja anak. Pengangkatan anak sendiri sebenarnya merupakan suatu tindakan mengambil anak orang lain untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak keturunannya sendiri. Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang disepakati bersama dan sah menurut hukum yang berlaku di masyarakat yang bersangkutan. Dalam  pelaksanaannnya, motivasi pengangkatan anak merupakan hal yang perlu diperhatikan, dan harus dipastikan dilakukan demi kepentingan anak. Selain itu, disebutkan bahwa pengangkatan anak akan mempunyai dampak perlindungan anak apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Diutamakan pengangkatan anak yatim piatu,
b. Anak yang cacat mental, fisik, sosial,
c. Orang tua anak tersebut memang sudah benar-benar tidak mampu mengelola
keluarganya,
d. Bersedia memupuk dan memelihara ikatan keluarga antara anak dan orang tua
kandung sepanjang hayat,
e. Hal-hal lain yang tetap mengembangkan manusia seutuhnya.
 Berikutnya, faktor-faktor yang perlu mendapat perhatian dalam pengangkatan anak sebagai berikut:
1) Subyek yang terlibat dalam perbuatan mengangkat anak.
2) Alasan atau latar belakang dilakukannya perbuatan tersebut, baik dari pihak
adoptan (yang mengadopsi) maupun dari pihak orang tua anak.
3) Ketentuan hukum yang mengatur pengangkatan anak.
4) Para pihak yang mendapat keuntungan dan kerugian dalam pengangkatan anak.
Dalam pelaksanaan pengangkatan anak, pelayanan bagi pihak yang mengangkat anak adalah hal paling utama. Selanjutnya, harus diperhatikan pula kepentingan pemilik anak agar menyetujui anaknya diambil oleh orang lain. Pelayanan berikutnya diberikan bagi pihakpihak lain yang berjasa dalam terlaksana proses pengangkatan anak. Dan yang paling akhir mendapatkan pelayanan adalah anak yang diangkat. Sepanjang proses tersebut, anak benar-benar dijadikan obyek perjanjian dan persetujuan antara orang-orang dewasa. Berkaitan dengan kenyataan ini, proses pengangkatan anak yang menuju ke arah suatu bisnis jasa komersial merupakan hal yang amat penting untuk dicegah karena hal ini bertentangan dengan asas dan tujuan pengangkatan anak.
Pada dasarnya, pengangkatan anak tidak dapat diterima menurut asas-asas perlindungan anak. Pelaksanaan pengangkatan anak dianggap tidak rasional positif, tidakdapat dipertanggungjawabkan, bertentangan dengan asas perlindungan anak, serta kurang bermanfaat bagi anak yang bersangkutan.
Beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah pelaksanaan pengangkatan
anak adalah sebagai berikut:
a. Memberikan pembinaan mental bagi para orang tua, khususnya menekankan pada pengertian tentang manusia dan anak dengan tepat. Menegaskan untuk tidak mengutamakan kepentingan diri sendiri yang dilandaskan pada nilai-nilai sosial yang menyesatkan tentang kehidupan keluarga.
b.  Memberikan bantuan untuk meningkatkan kemampuan dalam membangun keluarga sejahtera dengan berbagai cara yang rasional, bertanggung jawab, dan bermanfaat.
c.  Menciptakan iklim yang dapat mencegah atau mengurangi pelaksanaan pengangkatan anak.
d. Meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap sesama manusia melalui pendidikan formal dan nonformal secara merata untuk semua golongan masyarakat.
           
            Upaya –upaya diatas sebagai tambahan dalam program Percontohan ZBPA yang sebenarnya sudah sangat efektif dilakssanakan diseluruh daerah di Indonesia. Kendala yang harus dilaksanakan adalaah peningkatan anggaran APBN dan APBS setiap daerah. Selain itu, peran control social dalam hal ini adalah diharapkan program-program percontohan ZBPA bisa berjalan dan terhindar dari praktek –praktek yang menguntungkan pihak tertentu. Peraturan Undang-Undang harus dijalankan seefektif mungkin baik dengan melaksanakn sanksi terkait dalam program ini. Pengevaluasian dan tanggap dari pemerintah menjadi kunci utama disini. Dan terakhir, masyarakat sebagai pelaksana dapat melaksanakan dan memahami program ZBPA sebagai upaya peningkatan mutu masyarakat kearah yang lebih baik.



BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
            Permasalahan pekerja anak sebenarnya hampir menyerupai sebuah gunung es. Kompleksitas pada dasar permasalahannya tidak tampak, sedangkan aktualisasi pada permukaan berupa tindakan-tindakan eksploitasi terhadap anak juga hanya muncul sedikit. Budaya masyarakat yang lebih cenderung bersifat patriarchi dan kemiskinan secara struktural menciptakan suatu iklim yang permisif terhadap pekerja anak di Indonesia. Terbatasnya studi dan perhatian terhadap kondisi pekerja anak di Indonesia memberikan suatu kontribusi terhadap terbelenggunya nasib pekerja anak.
Dari waktu ke waktu, perlindungan terhadap pekerja anak di Indonesia tidak banyak mengalami perubahan. Perlindungan secara yuridis yang merupakan faktor penting terhadap keberadaan pekerja anak  mengindikasikan kemenduaan sikap pemerintah terhadap masalah ini. Penerapan discretion clausule dalam berbagai aturan hukum tentang ketenagakerjaan, sering menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda bahkan memberikan suatu celah hukum terhadap eksploitasi pekerja anak. Hal inipun ternyata masih dijumpai pada Undang Undang Ketenagakerjaan yang baru, yaitu UU Ketenagakerjaan No. 25 tahun 1997. Keadaan sosial dan ekonomi masyarakat yang sebagian terbesar berada pada batas garis kemiskinan mendorong terjadinya enkulturasi "bekerja membantu keluarga" yang sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak secara sehat.
Zona Bebas Pekerja Anak (ZBPA) sebagai solusi dalam pemberantasan pekerja anak dirasakan sebagai komitmen yang dapat digunakan untuk mempertahankan momentum pemberdayaan dan advokasi terhadap pekerja anak, seperti yang telah dilakukan oleh LSM-LSM dalam usaha untuk menghilangkan praktek pekerja anak di Indonesia. Akhirnya, Penjajagan dan pengembangan jaringan kerja sama baik nasional, regional, maupun internasional merupakan alternatif penting. Karena dengan kerjasama ini diharapkan dapat membantu memberikan pemecahan terhadap permasalahan mendasar yang dihadapi oleh pekerja anak di Indonesia, yaitu: kemiskinan dan tingkat pendidikan yang rendah.

B. Saran
            Berdasarkan analisis dan pembahasan di atas, maka ada beberapa hal yang dapat menjadi catatan kita bersama guna meminimalisir kemungkinan terjadinya tindakan- tindakan serupa pada masa yang akan datang, mengingat apa yang tertulis pada pasal 20 Undang-Undang No. tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi: “Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak”. Oleh karena itu, ada beberapa saran yang dapat dijadikan acuan bagi kita semua, antara lain:
1. Keluarga
a. Lebih memahami dan mengerti bahwa anak bukanlah milik pribadi karena pada dasarnya setiap anak adalah sebuah pribadi yang utuh yang juga memiliki hak sebagaimana individu lainnya, sehingga anak tidak dapat dijadikan tumpuan amarah atas semua permasalahan yang dialami orangtua (Domestic Based Violence).
b. Lebih berhati-hati dan memberikan perhatian serta menjaga anak-anak dari kemungkinan menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang di sekitar kita (Community Based Violence).
2. Masyarakat
a. Lebih peka dan tidak menutup mata terhadap keadaan sekitar sehingga apabila terjadi kekerasan terhadap anak di lingkungan sekitar penanganannya dapat lebihcepat guna menghindari kemungkinan yang lebih buruk pada anak yangbersangkutan.
b. Aparat hukum seharusnya dapat lebih peka anak pada setiap proses penanganan
perkara anak baik dalam hal anak sebagai korban tindak pidana maupun anak sebagai pelaku dengan mengedepankan prinsip demi kepentingan terbaik bagi anak (the best interest for the child).
c. Pihak sekolah dan orangtua asuh sebagai pendidik kedua setelah orangtua kandung, diharapkan dapat lebih sensitif anak dalam mendidik anak-anak yang berada dibawah pengasuhan mereka.
3. Negara
a.  Menyelesaikan dengan segera konflik-konflik sosial dan politik yang berkepanjangan di berbagai daerah.
b.  Memperbaiki seluruh pelayanan publik baik itu pelayanan kesehatan, pendidikan.



















DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu.1997. Ilmu Sosial Dasar. Semarang : PT Rineka Cipta
 http://digitallib.itb.ac.id diakses tanggal 6 juni 2009
http://duniapsikologi.com diakses tanggal 6 juni 2009
http://ebursa.depdiknas.go.id diakses tanggal 6 juni 2009
http://sekitarkita.com diakses tanggal 6 juni 2009
http:// www. kabar Indonesia.com diakses tanggal 6 juni 2009
Soerjabrata, Soemardi.1982. Psikologi Perkembangan Jilid I Bagian Penyajian Secara Historis. Yogyakarta : Rake press Yogyakarta.
Sunarto,dkk. 2002. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta : Penerbit Rineka Cipta
Tim Pembina Lelompok Mata Kuliah Berkehidupan Bermasyarakat. 2003. Modul Acuan Prosedur Pembelajaran Mata Kuliah Berkehidupan Bermasyarakat. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional DIRJEN DIKTI Pembinaan Akademik dan Kemahasiswaan.








LAMPIRAN

pres-lambang01.gif (3256 bytes)
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2000
TENTANG
PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 182 CONCERNING THE PROHIBITION AND IMMEDIATE ACTION
FOR THE ELIMINATION OF THE WORST FORMS OF CHILD LABOUR
( KONVENSI ILO NO. 182 MENGENAI PELARANGAN DAN TINDAKAN SEGERA
PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a.   bahwa negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah negara hukum yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, sehingga sudah seharusnya setiap manusia baik dewasa maupun anak-anak dilindungi dari upaya-upaya mempekerjakannya pada pekerjaan-pekerjaan yang merendahkan harkat dan martabat manusia atau pekerjaan yang tidak manusiawi;
b.   bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat internasional menghormati, menghargai, dan menjunjung tinggi prinsip dan tujuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia Tahun 1948, Deklarasi Philadelphia Tahun 1944, Konstitusi Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (ILO), dan Konvensi Hak-Hak Anak Tahun 1989;
c.   bahwa Konferensi Ketenagakerjaan Internasional yang kedelapan puluh tujuh tanggal 17 Juni 1999, telah menyetujui Pengesahan ILO Convention No. 182 concerning The Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak);
d.   bahwa konvensi tersebut selaras dengan keinginan bangsa Indonesia untuk secara terus-menerus menegakkan dan meningkatkan pelaksanaan hak-hak asasi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
e.   bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut dalam huruf a, b, c, dan d dipandang perlu mengesahkan ILO Convention No. 182 concerning The Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak) dengan Undang-undang;
Mengingat :
1.   Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20, Pasal 27, Pasal 31 ayat (1), dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945;
2.   Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia;

Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 182 CONCERNING THE PROHIBITION AND IMMEDIATE ACTION FOR THE ELIMINATION OF THE WORST FORMS OF CHILD LABOUR (KONVENSI ILO NO. 182 MENGENAI PELARANGAN DAN TINDAKAN SEGERA PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK).
Pasal 1
Mengesahkan ILO Convention No. 182 concerning The Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child Labour (Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak) yang naskah aslinya dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-undang ini.
Pasal 2
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 8 Maret 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 Maret 2000
Pj. SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
BONDAN GUNAWAN



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 30
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2000
TENTANG
PENGESAHAN ILO CONVENTION NO. 182 CONCERNING THE PROHIBITION
AND IMMEDIATE ACTION FOR THE ELIMINATION OF THE WORST FORMS
OF CHILD LABOUR ( KONVENSI ILO NO. 182 MENGENAI PELARANGAN
DAN TINDAKAN SEGERA PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK
PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK)

I.    UMUM
Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak asasi sejak dilahirkan, sehingga tidak ada manusia atau pihak lain yang boleh merampas hak tersebut. Hak asasi anak diakui secara universal sebagaimana tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Deklarasi PBB Tahun 1948 tentang Hak-Hak Asasi Manusia, Deklarasi ILO di Philadelphia tahun 1944, Konstitusi ILO, Deklarasi PBB tahun 1959 tentang Hak-Hak Anak, Konvensi PBB Tahun 1966 tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan Konvensi PBB Tahun 1989 tentang Hak-Hak Anak. Dengan demikian semua negara di dunia secara moral dituntut untuk menghormati, menegakkan, dan melindungi hak tersebut.
Salah satu bentuk hak asasi anak adalah jaminan untuk mendapat perlindungan yang sesuai dengan nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Jaminan perlindungan hak asasi tersebut sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Sebagai anggota PBB dan Organisasi Ketenagakerjaan Internasional atau Internasional Labour Organization (ILO), Indonesia menghargai, menjunjung tinggi, dan berupaya menerapkan keputusan-keputusan lembaga internasional dimaksud.
Konvensi ILO No. 182 Tahun 1999 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak yang disetujui pada Konferensi Ketenagakerjaan Internasional ke delapan puluh tujuh tanggal 17 Juni 1999 di Jenewa merupakan salah satu Konvensi yang melindungi hak asasi anak.
Konvensi ini mewajibkan setiap negara anggota ILO yang telah meratifikasinya harus segera melakukan tindakan-tindakan untuk menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Konvensi, maka "anak" berarti semua orang yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.
II. POKOK-POKOK PIKIRAN YANG MENDORONG LAHIRNYA KONVENSI
1.   Konvensi ILO No. 138 Tahun 1973 mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja merupakan instrumen dasar tentang kerja anak.
2.   Di samping Konvensi ILO No. 138 tahun 1973 tersebut, dipandang perlu untuk menyetujui instrumen ketenagakerjaan yang baru untuk melarang dan menghapuskan bentuk-bentuk terburuk dari kerja anak yang akan melengkapi Konvensi ILO No. 138 Tahun 1973.
3.   Konvensi mengenai Hak Anak telah diterima oleh Sidang Umum PBB pada tanggal 20 Nopember 1989.
4.   Bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak telah diatur oleh instrumen internasional lainnya khususnya Konvensi ILO No. 29 Tahun 1930 tentang Kerja Paksa, dan Konvensi Tambahan PBB mengenai Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, dan Lembaga-Lembaga serta Praktek-Praktek Perbudakan atau Sejenis Perbudakan Tahun 1956.
III. ALASAN INDONESIA MENGESAHKAN KONVENSI
1.   Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber dan landasan hukum nasional, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia seperti tercermin dalam sila-sila Pancasila khususnya Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Untuk itu bangsa Indonesia bertekad melindungi hak asasi anak sesuai dengan ketentuan Konvensi ini.
2.   Dalam rangka pengamalan Pancasila dan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945, Indonesia telah menetapkan berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan anak.
3.   Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia melalui Ketetapan Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia menugasi Presiden dan DPR untuk meratifikasi berbagai instrumen PBB yang berkaitan dengan dengan hak asasi manusia. Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB tanggal 30 September 1990, mengenai Hak-hak Anak. Di samping itu Indonesia telah meratifikasi 7 (tujuh) Konvensi ILO yang memuat hak-hak dasar pekerja, termasuk Konvensi No. 138 Tahun 1973 mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja dengan Undang-undang No. 20 Tahun 1999.
4.   Dalam pengamalan Pancasila dan penerapan peraturan perundang-undangan masih dirasakan adanya penyimpangan perlindungan hak anak. Oleh karena itu, pengesahan Konvensi ini dimaksudkan untuk menghapuskan segala bentuk terburuk dalam praktek mempekerjakan anak serta meningkatkan perlindungan dan penegakan hukum secara efektif sehingga akan lebih menjamin perlindungan anak dari segala bentuk tindakan perbudakan dan tindakan atau pekerjaan yang berkaitan dengan praktek pelacuran, pornografi, narkotika, dan psikotropika. Perlindungan ini juga mencakup perlindungan dari pekerjaan yang sifatnya dapat membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak-anak.
5.   Pengesahan Konvensi ini menunjukkan kesungguhan Indonesia dalam memajukan dan melindungi hak asasi anak sebagaimana diuraikan pada butir 4. Hal ini akan lebih meningkatkan citra positif Indonesia dan memantapkan kepercayaan masyarakat internasional.



IV. POKOK-POKOK KONVENSI
1.   Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib mengambil tindakan segera dan efektif untuk menjamin pelarangan dan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
2.   "Anak" berarti semua orang yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.
3.   Pengertian "bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak" adalah :
(a)     segala bentuk perbudakan atau praktek sejenis perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon (debt bondage), dan perhambaan serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata;
(b)     pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk pertunjukan-pertunjukan porno;
(c)     pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan;
(d)    pekerjaan yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak-anak.
4.   Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib menyusun program aksi untuk menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
5.   Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib mengambil langkah-langkah agar ketentuan Konvensi ini dapat diterapkan secara efektif, termasuk pemberian sanksi pidana.
6.      Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib melaporkan pelaksanaannya.

V. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Apabila terjadi perbedaan penafsiran terhadap terjemahannya dalam bahasa Indonesia, maka yang berlaku adalah naskah asli Konvensi dalam bahasa Inggris.
Pasal 2
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3941
 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 59 T AHUN 2002
TENTANG
RENCANA AKSI NASIONAL PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN
TERBURUK UNTUK ANAK
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa anak Indonesia baik sebagai individu maupun sebagai generasi penerus bangsa
harus dijaga pertumbuhan dan perkembangannya sehingga anak dapat berkembang
secara wajar baik fisik, mental, sosial, dan intelektualnya; .
b. bahwa bekerja bagi anak terutama Dada jenis pekerjaan-pekerjaan yang terburuk
    sangat membahayakan bagi anak dan akan menghambat anak untuk tumbuh dan
    berkembang secara wajar disamping sangat bertentangan pula dengan hak asasi anak
    dan nilai-nilai kemanusiaan yang diakui secara universal;
c. bahwa Indonesia telah mengesahkan ILO Convention No. 182 Concerning the
   Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Forms of Child
   Labour(Konvensi ILO No. 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera

Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak) dengan Undangundang
No.1 Tahun 2000;
d. bahwa ketentuan Pasal 6 Konvensi ILO No. 182 tersebut mengamanatkan untuk
    menyusun dan melaksanakan Program Aksi Nasional untuk menghapus bentukbentuk
    pekerjaan terburuk untuk anak;

e. bahwa sehubungan dengan hal-hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,
   huruf c, dan huruf d, dipandang perlu menetapkan Rencana Aksi Nasional

Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak dengan Keputusan
Presiden;
Mengingat:

1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
    Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 182
    Concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst
   Forms of Child Labour (Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan
   Tindakan Segera Untuk Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk
   Anak) (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara
  Nomor 3941);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
   Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000
   Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
5. Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2001 tentang Komite Aksi Nasional
    Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerja Terburuk Untuk Anak;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL
PENGHAPUSAN BENTUK-BENTUK PEKERJAAN TERBURUK UNTUK ANAK.
Pasal 1
Menetapkan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk
Untuk Anak sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan Presiden ini.
Pasal 2
Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak
sebagaimana tersebut dalam Lampiran Keputusan Presiden ini merupakan pedoman bagi
pelaksanaan Program Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk
Untuk Anak.
Pasal 3
Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Agustus 2002
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
ttd.
MEGAWATl SOEKARNOPUTRI