Jumat, 25 Mei 2012

PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT DAN IDEOLOGI


PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT DAN IDEOLOGI
A.     Filsafat Pancasila

1.        Pengertian Filsafat
Filsafat secara etimologis berasal dari bahasa yunani yaitu philin yang berarti cinta,dan sophos yang artinya hikmah atau kebijaksanaan(Nasution, 1973; Kaelan dan Achmad Zubaidi;Rahayu Minto,2007).Secara harfiah filsafat mengandung makna cinta kebijaksanaan. Cinta artinya hasrat yang besar terhadap sesuatu,kebijaksanaan kebenaran sesungguhnya.Dengan demikian filsafat dapat diartikan sebagai hasrat atau keinginan yang sungguh-sungguh akan suatu kebenaran yang sesungguhnya.

Dalam keterkaitan dengan ilmu maka filsafat dapat didefinisikan, ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran. Menurut Sutriono dan Rita Hanafie (2007) merangkum pengertian filsafat sebagai berikut:
a.     Filsafat hasil pemikiran manusia yang kritis dan dinyatakan dalam bentuk yang sistematis,
b.    Filsafat adalah pemikiran manusia yang paling dalam,
c.     Filsafat adalah refleksi lebih lanjut dari pada ilmu pengetahuan atau pendalaman lebih lanjut ilmu pengetahuan,
d.    Filsafat adalah hasil analisis dan abstraksi,
e.     Filsafat adalah hasil perenungan jiwa manusia yang mendalam, mendasar, dan menyeluruh.
Perkembangan ilmu pengetahuan yang sedemikian pesat, serta berbagai pandangan maupun ideologi manusia dalam mencari dan memaknai kebenaran tidak bisa dilepaskan dari pemikiran filsafat. Hal ini dapat dimengerti bahwa sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, yang sekarang ada sebelumnya diawali dengan pemikiran filsafat.
       Dalam kehidupannya, manusia selalu memilih sesuatu apa yang dianggap baik dan benar bagi dirinya, baik dalam tataran kehidupan individu maupun dalam kehidupan bersama, yang dapat mengantar dalam mewujudkan kebahagian hidupnya. Pilihan manusia sebagai individu atau kelompok dalam menentukan tujuan hidupnya dalam rangka mencapai kebahagiaan dalam kehidupannya merupakan bagian dari berfikir filsafat. Manusia dalam kehidupannya tidak terlepas dari pemikiran filsafat, karena filsafat senantiasa sebagai ilmu yang menyertai kehidupan manusia. Ada seseorang dalam kehidupannya memandang materi sebagai sesuatu yang diagungkan maka seseorang tersebut dalam pemikirannya telah berfilsafat materialistis. Bila seseorang memandang keagungan kebebasan individu, seseorang tersebut dalam pemikirannya telah bersifat liberalisme, yang mengejar kesenangan pribadi dalam pemikirannya telah berfilsafat hedonisme. Demikian juga seseorang yang memilah kehidupan kemasyarakatan dengan kehidupan keagamaan, seseorang tersebut dalam pemikirannya telah bersifat sekularisme.

2.        Cakupan Kajian Filsafat
       Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, perkembangan  juga terjadi pada perkembangan ilmu filsafat yang terkait dengan bidang ilmu tertentu, seperti filsafat politik, filsafat hukum, filsafat ekonomi, filsafat sosial, serta filsafat ilmu pengetahuan lainnya.
Keseluruhan perkembangan ilmu filsafat yang meliputi berbagai masalah tersebut menurut Kaelan dan Achmad Zubaidi (2007) mencangkup filsafat sabagai proses dan filsafat sebagai produk.
a.    Filsafat sebagai proses diartikan sebagai bentuk suatu aktivitas berfilsafat dalam proses pemecahan suatu permasalahan dengan menggunakan suatu cara dan metode tertentu yang sesuai dengan permasalahannya. Dalam pengertian ini filsafat merupakan suatu sistem pengetahuan yang bersifat dinamis. Filsafat dalam pengertian ini filsafat tidak bersifat dokma, sebagai suatu sistem nilai tertentu, tetapi lebih merupakan suatu aktivitas berfilsafat yang dinamis, dengan suatu metode ilmiah.
b.    Filsafat sebagai produk, mencakup pengertian sebagai jenis pengetahuan, ilmu, konsep dari para filsuf pada zaman dahulu, teori, sistem atau pandangan tertentu,merupakan hasil dari proses berfilsafat. Sebagai produk filsafat juga sebagai suatu jenis problema yang dihadapi oleh manusia yang sebagai hasil dari aktivitas berfilsafat dalam pemecahan persoalan dengan kegiatan berfilsafat.
       Dalam mempelajari filsafat ilmu yang terus berkembang sebagai proses dan produk, pengkajian filsafat ilmu dapat dilakukan melalui pengkajian ontologis, epistimologis dan axiologis. Secara singkat, titik berat pengkajian itu dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.    Kajian Ontologis
        Pembahasan ontologis dari suatu ilmu akan mengkaji objek yang menjadi telaahan ilmu itu sendiri. Apa yang menjadi kajian ontologis sesungguhnya ada dan bagaimana objek dari ilmu itu ditata, diorganisir dan dikembangkan serta dipecah dengan pendalaman secara konkrit, faktual, transedental, maupun metafisik seperti alam, manusia, benda-benda di alam semesta ini. Kajian ini berkembang dengan pesat dari waktu-kewaktu, sampai saat ini usaha mengembangkan ilmu pengetahuan masih terus dilakukan, dan terus terjadi penemuan-penemuan baru sebagaimana kita lihat pengembangan fakultas, atau program studi di perguruan tinggi.
b.    Kajian Epistimologis
        Pembahasan  epistimologis menitikberatkan pada metode atau metodologi pengembangan ilmu secara benar. Sebagaimana kajian ontologis yang terus berkembang, kajian epistimologis berkembang seiring dengan perkembangan ontologis. Pengembangan ilmu dan teknologi tidak dapat dilepaskan dari aspek epistimologis, yakni metodologi yang digunakan bagaimana ilmu dan teknologi dikembangkan secara benar. Pengembangan metodologi ilmu pengetahuan telah berkembang sangat pesat, hampir semua ilmu pengetahuan sekarang berusaha mengembangkan metodologi penelitian dengan kekhususan masing-masing.
c.    Kajian Axiologis
        Kajian axiologis, menitikberatkan pada pengembangan ilmu dan teknologi dalam kaitannya dengan kaidah norma dan nilai yang ada pada manusia. Terhadap kajian ini bahwa pengembangan ilmu dan teknologi seharusnya sesuai dengan kaidah dan nilai-nilai positif pada manusia. Terhadap kajian ini memunculkan dua aliran, Pertama, bahwa pengembangan ilmu pengetahuan itu bebas nilai; Kedua, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bebas nilai. Bagi kita yang beragama, semua ilmu yang berasal dari Tuhan, dan kita terikat pada hukum-hukum Tuhan dengan demikian pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harus mempertimbangkan atau didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah agama secara universal yang memiliki daya guna bagi kemanusiaan.

3.        Fungsi Filsafat
       Dengan memperhatikan makna filsafat sebagai proses dan produk filsafat, serta pengkajiannya, filsafat juga berfungsi bagi kehidupan manusia dalam kehidupannya sebagai individu maupun anggota masyarakat. Fungsi tersebut antara lain, sebagai berikut:
a.    Berfilsafat mengajak manusia bersikap arif, berwawasan luas terhadap berbagai problem yang dihadapi. Manusia diharapkan mampu memecahkan problem tersebut dengan cara mengidentifikasikannya agar jawaban-jawaban dapat diperoleh dengan mudah,
b.    Filsafat dapat membentuk pengalaman kehidupan seseorang secara lebih kreatif atas dasar pandangan hidup atau ide-ide yang muncul karena keinginannya,
c.    Filsafat dapat membentuk sikap kritis seseorang dalam menghadapi permasalahan, baik dalam komunitas, agama dan hal-hal lain di luar dirinya, secara lebih arif, rasional, dan tidak terjebak dalam fanatisme yang berlebihan,
d.   Bagi mahasiswa atau para ilmuwan dibutuhkan kemampuan menganalisis, yaitu analisis kritis yang komprehensif dan sintesis atas berbagai masalah ilmiah yang dituangkan dalam suatu riset atau kajian ilmiah lainnya. Filsafat dilaksanakan dalam suatu suasana pengetahuan yang mementingkan kontrol atau pengawasan. Oleh karena itu, nilai ilmu pengetahuan timbul dari fungsinya, sedangkan fungsi filsafat timbul dari nilainya.

4.        Penetapan  Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945
       Istilah Pancasila dalam pustaka sejarah telah dikenal sejak zaman Majapahit. Pancasila yang berasal dari dua suku kata yaitu panca dan sila. Panca artinya lima, sila berarti aturan atau karma. Dalam masa Majapahit Pancasila merupakan lima pelaksanaan kesusilaan sebagaimana dikutip Dardji Darmodihardjo, dkk (1988) yaitu:
a.    Tidak boleh melakukan kekerasan,
b.    Tidak boleh mencuri,
c.    Tidak boleh dengki,
d.   Tidak boleh berbohong,
e.    Tidak mabuk minuman keras.
       Istilah Pancasila sebagai dasar Negara dipopulerkan kembali oleh Bung Karno tanggal 1 Juni 1945, dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). BPUPKI adalah lembaga bentukan Jepang yang dimaksudkan untuk memberikan keyakinan kepada bangsa Indonesia bahwa Jepang tidak sekedar menjanjikan kemerdekaan untuk bangsa Indonesia, meskipun satu sisi Jepang sudah sangat terdesak oleh Sekutu dan berharap akan bantuan bangsa Indonesia.
       Kesempatan yang diberikan Jepang tidak disia-siakan oleh para pejuang Indonesia dan memanfaatkan sidang BPUPKI untuk membahas masalah penting yakni tentang Dasar Negara untuk berdirinya suatu negara yang merdeka dengan kondisi yang bhinneka dalam kehidupan bangsa Indonesia. Dalam sidang tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945 dibahas tentang rencana dasar negara, dengan pembicara utama adalah Mr. M. Yamin, Prof. Dr. Seopomo, dan Ir. Soekarno. Ketiganya menyampaikan lima Dasar Negara dengan rumusan berbeda. Namun hanya Soekarno yang menyebutkan kelima dasar itu diberikan nama Pancasila, meskipun rumusan Pancasila Soekarno tidak sama dengan Pancasila sebagai Dasar Negara sebagaimana termuat dalam pembukaan UUD 1945. Karenanya, pada masa Orde Lama dengan presiden Indonesia adalah Soekarno, tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila diambil dari momentum pidato Ir. Soekarno, meskipun Pancasila rumusan Bung Karno tidak sama dengan Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945.
       Peringatan hari kelahiran Pancasila pada tanggal 1 Juni dianggap tidak relevan lagi pada masa Orde Baru (pendapat ini masih mengundang pro dan kontra), dan diorbitkan Hari Kesaktian Pancasila tanggal 1 Oktober, dengan mengambil momentum bahwa G 30 September 1965, gagal berkat pendukung dan pembela Pancasila yang mulai bergerak pada tanggal 1 Oktober 1965. Pada era Reformasi sikap pemerintah tidak setegas Orde Lama maupun Orde Baru dalam menyikapi kedua momentum tersebut. Dalam situasi demikian peran guru atau dosen PKn, atau guru dan dosen pada umumnya dituntut kritis sehingga para siswa dan mahasiswa tidak kebingungan, mengingat dengan era sekarang banyak buku yang saling kontradiktif menyikapi pergeseran kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru, atau Orde Baru ke Reformasi termasuk tentang hari lahirnya Pancasila.
       Terhadap kontraversi ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2008) mengajak semua pihak untuk melakukan refleksi kesejarahan pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 dan para pikiran founding father. Bagaimana para pendiri negara berdialog, berdebat dan akhirnya berkonsensus bagaimana negara ini dibangun menuju masa depannya. Bung Karno telah memberikan wacana hangat yang sekarang justru kita melihat pemikiran jauh ke depan dan terlihat kejeniusan Bung Karno yang menyangkut hubungan nasionalisme dan internasionalisme, atau globalisasi. Pemikiran Bung Karno dalam era globalisasi tetap relevan sebagai sumber aspirasi dan solusi menghadapi permasalahan kebangsaan dan kenegaraan dewasa ini.
       Sebagaimana disebut pada pembahasan usulan Dasar Negara, maka BPUPKI membentuk Panitia 9, yang diketuai oleh Ir. Soekarno, dan melaksanakan sidang pada tanggal 22 Juni 1945 berhasil dengan rumusan Piagam Jakarta, dengan rumusan Pancasila yang hampir sama dengan Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945, dengan perbedaan rumusan mendasar pada sila pertama, yaitu Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan  syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Dalam sidang BPUPKI tanggal 14 Juli 1945 Piagam Jakarta disepakati untuk menjadi pembukaan dari Rancangan Undang-Undang Dasar yang dipersiapkan untuk Negara Indonesia merdeka.
       Dengan semakin terdesaknya Jepang oleh Sekutu, Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diketuai oleh Ir. Soekarno dan wakil Moh. Hatta. Setelah Jepang menyerah kepada sekutu tanggal 14 Agustus 1945, keadaan ini menjadikan Indonesia terjadi kekosongan kekuasaan, dan kesempatan tersebut digunakan oleh PPKI mendeklarasikan Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, atas nama Bangsa Indonesia yang diwakili oleh Soekarno – Hatta.
       Untuk menindak lanjuti pernyataan Kemerdekaan Indonesia, esok harinya tanggal 18 Agustus 1945 PPKI mengadakan sidang yang berhasil dengan keputusan sebagai berikut:
a.    Mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara (yang kemudian dikenal dengan Undang Undang Dasar 1945)
b.    Memilih Presiden dan Wakil Presiden, yakni Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta.
c.    Presiden untuk sementara waktu akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional.
       Dengan ditetapkannya UUD 1945 yang di dalam pembukaannya memuat lima dasar Negara, yakni rumusan sila-sila dari Pancasila sebagai dasar Negara, meskipun dalam pembukaan tidak ada kata-kata Pancasila, namun lima dasar yang dimaksud adalah Pancasila sebagai dasar  Negara sekarang. Rumusan dasar negara ini hampir sama dengan rumusan dalam Piagam Jakarta, perbedaannya terdapat pada sila pertama, sebagaimana yang berlaku yang menyebutkan sila pertama  Ketuhanan Yang Maha Esa, sedang dalam Piagam Jakarta disebutkan: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
       Perubahan rumusan sila pertama ini merupakan hasil kompromi kelompok Islam dan Kristen dengan mediator Moh. Hatta di dalam PPKI, menjelang sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Karena itu, bila generasi muda sekarang masih mempertanyakan hasil kompromi, adalah terpaksa, perlu pemikiran dan kesadaran bersama tentang keanekaragaman bangsa Indonesia, sehingga kita mampu menghargai kompromi yang nuansanya jauh dari kepentingan pribadi dan golongan, sebagai hasil maksimal demi tegaknya negara Indonesia yang baru saja merdeka. Bila kita menginginkan Indonesia besar maka upaya mengotak atik atau mempermasalahkan kembali sila pertama Pancasila tidak lagi relevan. Tapi bila ada orang Indonesia terpengaruh dan menyakini ideologi lain dan ingin mengembangkan di Indonesia secara tidak langsung orang tersebut sadar atau tidak sadar menginginkan Negara Indonesia Proklamasi bubar, karena di Indonesia akan berdiri berbagai Negara dengan dominasi kultur masing-masing suku bangsa yang merasa mampu berdiri sendiri sebagai Negara merdeka.
       Dengan berlakunya UUD 1945 awal Proklamasi sampai sekarang dan beberapa amandemen, maka polemik lahirnya Pancasila sebagai dasar Negara dapat kita perjelas sebagai berikut. Kita bicara Pancasila adalah Pancasila sebagai dasar negara yang rumusannya termuat dalam pembukaan UUD 1945, namun demikian kita juga harus mengakui jasa Bung Karno menamai dasar Negara Pancasila perlu kita hormati, meski sampai sekarang kata Pancasila sebagaimana disebut-sebut Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 memang tidak tersurat kata Pancasila, sebagaimana kutipan berikut, “. . . Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Wacana ini dapat kita diskusikan namun dosen/guru harus dapat mengambil kesimpulan sehingga siswa dan mahasiswa yang sedang berkembang jangan dibiarkan bingung. Misalnya istilah Pancasila sebagai dasar negara dicetuskan Bung Karno tanggal 1 Juni 1945, juga dikuatkan oleg Bung Hatta (Hatta, 1969). Harus kita hormati atas ide yang cemerlang, sebagai salah satu tokoh penting yang berperan dalam perumusan dasar negara dan berdirinya NKRI. Pencasila sebagai dasar negara yang berlaku sekarang ditetapkan pertama tanggal 18 Agustus 1945 sebagai satu rangkaian dengan penetapan UUD Negara Indonesia.

5.        Pancasila sebagai Sistem Filsafat

       Rumusan Pancasila sebagai hasil pemikiran para pendiri negara dapat diharapkan dapat menuntun tercapainya tujuan bangsa Indonesia, Pancasila termasuk salah satu hasil pemikiran filsafat, Pancasila dikukuhkan sebagai dasar falsafah negara. Pancasila sebagai hasil pemikiran bangsa Indonesia dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945. Sejak masa pemerintahan Presiden Soekarno telah diikhtiarkan agar dapat dikembangkan secara ilmiah sebagaimana pemikiran filsafat yang telah banyak dikembangkan sejak zaman Yunani kuno. Presiden Soekarno menugaskan Ahli Filsafat dari Universitas Gajah Mada, Prof. Notonegoro untuk menganalisis Pancasila secara ilmiah, sehingga Pancasila dapat di kaji dan dikembangkan di perguruan tinggi di Indonesia pada umumnya. Sesuai dengan kepakarannya Prof. Notonegoro pengkajian Pancasila masih terbatas pada tinjauan filsafati.
       Untuk mendukung kebenaran Pancasila secara empiris pada masa Orde Baru dikembangkan P4, yang bertujuan memberikan rambu-rambu bagaimana bangsa Indonesia berperilaku sebagaimana dituntut dalam nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila. Meski secara teoritis P4 berhasil dirumuskan dengan Tap MPR No. II/ MPR/ 1978, namun karena dalam pelaksanaan sebagai perwujudan pengamalan Pancasila tidak sesuai dengan nilai-nilai yang akan dikembangkan dalam P4, akhirnya P4 dinyatakan tidak berlaku di Indonesia oleh MPR pada era Reformasi. Sebagai hasil perenungan yang diyakini kebenarannya Pancasila dapat mengantar bangsa Indonesia mencapai kebahagiaan. Pancasila merupakan hasil pemikiran filsafat bangsa yang dalam perjuangan perumusannya berorientasi pada kepentingan nasional bangsa, tanpa didasari pada kepentingan atau ambisi kelompok untuk memperoleh kekuasaan, baik secara individu maupun kelompok dari putra-putra terbaik bangsa Indonesia.
       Pancasila dilihat dari pendekatan ontologis, epistimologis, dan axiologis dapat dijelaskan sebagai berikut:

a.    Dasar Ontologis Pancasila
        Pancasila adalah sesuatu yang abstrak , sehingga tidaklah berlebihan perlu acuan operasional kongkrit dalam mewujudkan secara empirik. Dengan acuan perilaku kongkrit sifat filsafat Pancasila yang abstrak akan dapat diwujudkan sebagai ilmu pengetahuan dengan objeknya perilaku masyarakat Indonesia yang pancasilais. Dengan kata lain ontologi dari Pancasila adalah manusia, yakni manusia Indonesia. Bagaimana manusia Indonesia seharusnya berperilaku sebagaimana perilaku yang diharapkan dalam nilai yang terkandung dalam sila-sila dari Pancasila. Bagaimana seharusnya manusia Indonesia berperilaku sebagai makhluk ciptaan Tuhan, bagaimana eksistensi manusia sebagai bangsa Indonesia dalam pergaulan masyarakat dunia serta perilaku sebagai warga negara Indonesia baik dalam mendukung terwujudnya pemerintahan demokrasi serta mewujudkan keadilan bagi bangsa Indonesia.
        Upaya mewujudkan kriteria perilaku, serta mewujudkan kriteria perilaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia secara ilmiah (yakni kesesuaian antara harapan dan cita-cita atau apa yang diteorikan dengan kenyataan sehari-hari) ternyata tidak semudah dengan pemikiran yang diharapkan. Penetapan P4 yang telah disosialisasikan selama dua puluh tahun gagal dalam mewujudkan perilaku empiris dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mewujudkan objek kongkrit dari Pancasila sebagai ilmu pengetahuan masih perlu diperjuangkan dengan dukungan empiris dari perilaku bangsa Indonesia untuk mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa adanya niat yang sungguh-sungguh dari bangsa Indonesia, seperti terjadi dalam perjalanan sejarah masa lalu, bangsa Indonesia mengalami pasang surut sejak awal kemerdekaan, mulai dari tekanan Belanda yang ingin kembali ke Indonesia, pemberontakan PKI Madiun, krisis UUD tahun 1959, peristiwa G.30.S.PKI, terakhir  (semoga) yang berdampak pada krisis multi dimensi sebagaimana terjadi tahun 1998.

b.   Dasar Epistimologis Pancasila
        Pengembangan dasar epistimologis tidak dapat dipisahkan dengan dasar ontologis Pancasila. Menurut Titus (Kaelan dan Achmad Zubaidi, 2007) terdapat tiga persoalan mendasar dalam epistimologis, yaitu tentang sumber pengetahuan manusia, tentang teori kebenaran pengetahuan manusia, tentang watak pengetahuan manusia. Pancasila sebagai objek pengetahuan bersumber dari pemikiran bangsa Indonesia. Ini berarti bangsa Indonesia sebagai kausa materialis Pancasila. Sebagai sistem pengetahuan, Pancasila memiliki susunan formal yang logis, baik susunan sila-silanya maupun nilai yang terkandung di dalamnya.
        Sebagai sistem pengetahuan, nilai yang terkandung dalam Pancasila menurut Notonegoro (Kaelan dan Achmad Zubaidi, 2007) terdapat tiga sifat, yaitu:
1)   Umum universal, yaitu hakekat nilai Pancasila yang umum universal, merupakan inti sari dari esensi Pancasila merupakan pangkal tolak pelaksanaan dalam bidang kenegaraan dan tertib hukum Indonesia serta dalam realisasi praktis dan kongkrit.
2)   Sifat umum dan kolektif, bahwa Pancasila sebagai pedoman kolektif negara dalam tertib hukum Indonesia.
3)   Sifat khusus dan kongkrit, bahwa nilai pancasila dapat diwujudkan dalam realisasi praktis dalam berbagai bidang kehidupan sehingga memiliki sifat khusus, kongkrit dan dinamis.
        Dilihat dari dasar epistimologis, pengembangan Pancasila ke arah ilmu pengetahuan belum memiliki metodologi secara spesifik, namun demikian memperhatikan sifat epistimologis yang menyangkut sifat umum yang universal sampai pada sifat yang khusus dan kongkrit, pengembangan empiris pengamalan Pancasila dapat mengadopsi metodologi dalam berbagai penelitian yang menyangkut keberadaan perilaku manusia seperti, metode ilmiah penelitian pendidikan, psikologi, sosiologi, politik, antropologi, atau ilmu perilaku lainnya, baik bersifat kuantitatif maupun kualitatif.

c.    Dasar Axiologis Pancasila
        Pancasila yang diharapkan mampu mengantar bangsa Indonesia mencapai cita-cita hidup bangsa Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sejalan dengan tuntutan axiologis, bahwa pengembangan Pancasila mengarah pada terlaksananya kaidah-kaidah atau norma yang berlaku dalam masyarakat termasuk ketaatan pada peraturan perundang-undangan negara Republik Indonesia. Dengan demikian dari aspek axiologis, Pancasila dapat dikategorikan pengembangan ilmu yang tidak netral karena pengembangannya akan mengarah kepada pola-pola kehidupan yang baik bagi bangsa Indonesia yang mengakui Tuhan dengan tuntutan melaksanakan ibadah sesuai dengan agama yang dianut. Pancasila tidak termasuk kelompok ilmu pengetahuan yang bebas nilai. Tapi pengembangan Pancasila sebagai ilmu terikat dengan nilai keagamaan dan norma sosial kemasyarakatan bangsa Indonesia.
        Ditinjau dari prinsip-prinsip kausal filsafat sebagaimana dianut Aristoteles (Rahayu, 2007), filsafat sebagai falsafah hidup mencangkup kausal-kausal materialis, formalis, efisiensi, dan finalis dapat dijelaskan sebagai berikut:
1)   Kausal materialis, kausal materialis dimaksud berhubungan dengan materi atau bahan tentang objek yang menjadi titik tolak pemikiran yang dikembangkan. Dalam hal ini secara materialistis Pancasila digali dari nilai-nilai ketuhanan, sosial budaya yang ada dalam diri dan masyarakat Indonesia.
2)   Kausal formalis, adalah dasar penetapan formal keberadaan objek pada kedudukan fundamental dimana materi tersebut ditetapkan. Pancasila yang ditetapkan dalam Pembukaan UUD 1945, yang merupakan pokok kaidah yang fundamental dalam kehidupan bernegara bagi bangsa Indonesia. Secara teoritis Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian tidak terpisahkan dengan proklamasi 17 Agustus 1945, karena Pembukaan tidak boleh diubah oleh siapa pun termasuk MPR.
3)   Kausal efisiensi, adalah rumusan objek materi yang sederhana, singkat, jelas, dan mudah dimengerti, dengan cakupan nilai yang umum sampai yang spesifik dalam memenuhi tuntutan cita-cita keberadaan objek filsafat tersebut. Pancasila dengan rumusan lima sila yang sangat sederhana, dalam implementasinya mampu memberikan arahan bangsa Indonesia dalam kehidupan bernegara sesuai dengan cita-cita dari para tokoh dan pahlawan kemerdekaan Indonesia.
4)   Kausal finalis, bahwa objek filsafat yang diyakini kebenarannya mampu mengantarkan tercapainya tujuan hidup dalam masyarakat Indonesia. Tujuan akhir bangsa Indonesia mendasarkan pada Pancasila, karena diyakini bangsa Indonesia akan mampu mewujudkan cita-cita perjuangan sebagaimana tercantum pada tujuan negara, dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

6.        Pancasila sebagai Dasar Falsafah
       Pancasila sebagai hasil pemikiran dan perenungan untuk diaktualisasikan dalam kehidupan masyarakat dan bernegara Indonesia, menyangkut permasalahan umum dalam kehidupan manusia Indonesia sebagai makhluk individu dalam kehidupan bremasyarakat dan bernegara. Pancasila bagi bangsa Indonesia merupakan penegasan akan pandangan bangsa Indonesia yang tercermin dalam sila-sila sebagai berikut:

a.    Ketuhanan Yang Maha Esa, bahwa bangsa Indonesia mengakui keberadaan Tuhan Yang Maha Kuasa, yang dirumuskan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Makna Ketuhanan Yang Maha Esa memberikan kebebasan kepada semua warga/ penduduk Indonesia untuk memeluk agama yang diyakininya dan beribadah menurut agama dan kepercayaan yang dianutnya. Masing-masing pemeluk agama diharapkan untuk dapat mewujudkan kehidupan toleransi terhadap sesama pemeluk agama yang sama maupun dengan pemeluk agama yang berbeda. Kebebasan beragama diakui sebagai hak asasi paling mendasar sehingga tidak dibenarkan bagi seseorang untuk memaksakan suatu agama tertentu kepada orang lain.
b.    Kemanusiaan yang adil dan beradab, adalah pernyataan bangsa Indonesia yang memandang bangsa Indonesia merupakan bagian bangsa-bangsa di dunia yang memiliki kedudukan, harkat dan martabat yang sama dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Bangsa Indonesia menentang segala bentuk perlakuan deskriminatif seperti berbagai bentuk perbudakan dan perbedaan perlakuan politik berdasarkan warna kulit atau rasialisme. Pernyataan ini dipertegas dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea pertama yang menegaskan; Bahwa sesungguhnya kemerdekaan ialah hak segala bangsa. Oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.
Dalam eksistensinya sebagai warga negara, setiap manusia sebagai warga negara memiliki kedudukan sama dalam hukum dan pemerintahan serta hak-hak dan kewajiban sama yang diatur dalam pasal-pasal UUD 1945.
c.    Persatuan Indonesia. Bila sila pertama dan kedua bersifat umum/ universal bukan monopoli bangsa Indonesia, maka esensi sila ketiga sampai kelima adalah lebih menekankan pada kondisi yang bersifat nasional bagi bangsa Indonesia. Persatuan Indonesia di samping perwujudan bangsa Indonesia yang harus bersatu, kesatuan ini juga ditujukan pada satu kesatuan wilayah, yakni wilayah Indonesia, kesatuan bangsa, yakni bangsa Indonesia. Sebagai negara kesatuan Indonesia adalah kesatuan yang menyeluruh dan tidak dibenarkan adanya negara baru yang didirikan dalam wilayah Indonesia. Penegasan ini dipertegas dalam tujuan negara, bahwa Negara melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
d.   Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, adalah menunjuk pada sistem pemerintah yang demokratis, dimana para pemimpin pemerintahan Indonesia dipilih dengan cara demokrasi serta mengimplementasikan adanya wakil rakyat dalam DPR, DPRD, serta DPD. Dalam perkembangan politik demokrasi bangsa Indonesia yang pernah terjebak praktik pemusatan kekuasaan tanpa kontrol. Pada era reformasi telah terjadi perubahan mendasar kearah demokrasi yang lebih baik, karena tidak ada lagi perwakilan rakyat yang diangkat, serta pemilihan kepala eksekutif yang langsung oleh rakyat, serta netralitas pegawai negeri, TNI dan Polri.
e.       Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Meskipun ditegaskan pada esensi kemanusiaan, bahwa bangsa Indonesia merupakan warga dunia, namun untuk keadilan bangsa Indonesia mengutamakan perwujudan keadilan dan kemakmuran bagi rakyat Indonesia. Komitmen bangsa Indonesia mewujudkan keadilan dan kemakmuran diberikan kebebasan untuk memilih pekerjaan dan penghidupan yang layak, usaha ekonomi kerakyatan dalam bentuk koperasi, serat komitmen memberikan jaminan sosial bagi fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Kebijakan setiap pemerintahan negara yang membantu, meringankan beban beban kelompok masyarakat miskin merupakan perwujudan kewajiban negara terhadap komitmen keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
       Sebagai sistem filsafat yang penuh dengan nilai kehidupan bermasyarakat dan bernegara, serta pengakuan hak-hak individu bagi bangsa Indonesia, sila-sila Pancasila merupakan satu kesatuan sistem yang totalitas, dan bila dipisah-pisahkan bukan lagi sebagai Pancasila, sebagaimana dasar, proses pelaksanaan program sekaligus sebagai tujuan nasional bangsa Indonesia, yakni masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Keutuhan sila-sila Pancasila dasar negara inilah yang sering mewarnai perdebatan dengan Pancasila Bung Karno yang dapat diperas jadi trisila dan ekasila, yang tidak dikenal dalam keutuhan pancasila sebagai dasar negara, meski nilai gotong royong sebagai bentuk ekasila dikenal dalam nilai Pancasila. Agar hasilnya sesuai dengan kandungan Pancasila, maka proses pelaksanaannya dalam perwujudan program-program harus didasarkan pada nilai-nilai dari Pancasila, pelaksanaan pembangunan pun harus didasari pada keyakinan akan kebenaran Pancasila.

B.     Ideologi Ideologi Besar di Dunia

1.        Pengertian Ideologi
       Secara etimologi ideologi berasal dari kata idea, yang berarti pemikiran, gagasan, atau konsep, dan logos berarti pengetahuan. Dengan demikian ideologi berarti ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang ide, keyakinan atau gagasan. Ideologi adalah sesuatu yang netral, idea atau gagasan yang merupakan pemikiran seseorang yang dianggap baik, yang akhirnya mendapat dukungan luas dari kelompok masyarakat dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh kelompok manusia termasuk masyarakat negara akan memberikan arah dalam kehidupannya, baik secara individu maupun kelompok. Ideologi juga merupakan suatu keyakinan diri, inspirasi dan guidane perjuangan politik manusia.
       Ideologi menurut Maswardi Rauf (Srijanti, dkk, 2008) adalah rangkaian (kumpulan) nilai yang disepakati bersama untuk menjadi landasan atau pedoman dalam mencapai tujuan atau kesejahteraan bersama. Pemikiran-pemikiran tentang ideologi akhirnya sempat mewarnai kehidupan bernegara, atau yang sekarang masih dipertahankan keberadaannya seperti ideologi individual-liberal yang lahir abad pertengahan sebagai reaksi kekuasaan absolut yang mendapat dukungan gereja, ideologi sosialis, komunis sebagai reaksi pemikiran individualis, yang menumbuhkembangkan liberalisme dan kapitalisme, fasisme, nazisme, termasuk pemikiran tentang pancasila.
       Menurut Carl J. Friederich (Kamal Pasha, 2002), ideologi sebagai suatu sistem pemikiran yang dikaitkan dengan tindakan. Dalam kaitannya dengan tindakan ideologi mengandung suatu program atau strategi untuk mewujudkan cita-cita dari pemikiran yang diperjuangkan, yakni cita-cita untuk mempersatukan organisasi yang dibangun atas dasar pemikiran yang diyakini paling benar dan sesuai untuk masyarakat yang dibentuknya. Menurut Alfian (1981) ideologi adalah pandangan atau sistem nilai yang menyeluruh dan mendalam yang dipunyai dan dipegang oleh masyarakat tentang bagaimana, yaitu secara moral dianggap benar dan adil, mengatur tingkah laku mereka bersama dalam berbagai segi kehidupan duniawi mereka. Setiap ideologi selalu memiliki unsur-unsur prinsip dalam mewujudkannya.
       Menurut Kunto Wibisono (Kamal Pasha, 2002) menyebut tiga unsur yang sangat dominan dalam ideologi yaitu:
a.    Adanya keyakinan, yakni gagasan vital yang diyakini kebenarannya,
b.    Mitos, ada yang dimitoskan secara optimik dan deterministik pasti akan menjamin tercapainya tujuan,
c.    Loyalitas, yakni menuntut adanya keterlibatan secara optimal dari para pendukungnya.
       Oleh karena itu, suatu kelompok masyarakat termasuk masyarakat negara yang meyakini akan kebenaran suatu ideologi, kelompok tersebut akan memperjuangkan dengan penuh semangat bagaimana mewujudkan cita-cita ideologi yang dituangkan konstitusi atau undang-undang dalam kehidupan bernegara. Dengan kata lain, ideologi negara akan berperan sebagai jiwa, semangat, serta mengarahkan program, strategi dan perjuangan mencapai tujuan negara sesuai dengan cita-citanya. Peranan ideologi dalam kehidupan bermasyarakat dapat dilihat melalui tiga dimensi, yaitu dimensi ideal, realitas, dan fleksibilitas.
a.    Dimensi ideal, bahwa kualitas yang terkandung dalam ideologi mampu mendorong motivasi, menggugah harapan, optimisme akan terwujudnya cita-cita yang diharapkan. Dimensi ideal ini biasanya bersifat umum, sehingga kelompok atau negara lain dapat meniru kepada kelompok atau negara tertentu yang telah berhasil mewujudkannya. Bahkan kejadian blok negara di dunia abad 20 sangat diwarnai dengan pengelompokan ideologi, yaitu blok Amerika dengan liberalis kapitalisnya, dan blok Uni Soviet yang komunis dan sosialis. Masing-masing anggota blok sama-sama memiliki ideologi dengan pokok-pokok ajaran yang sama.
b.    Dimensi realitas, dimensi ini memberikan citra ideal bahwa nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat adalah nilai yang sama yang diperjuangkan dalam ideologi tersebut, dimana apa yang diinginkan masyarakat adalah apa yang sebenarnya akan diwujudkan dalam perjuangan ideologinya.
c.    Dimensi fleksibilitas, dimensi ini menunjuk pada kemampuan ideologi dalam mempengaruhi dan menyesuaikan diri dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat. Sebagaimana disebut pada dimensi ideal bahwa terdapat kecenderungan suatu kelompok atau negara ingin memperluas pengaruhnya dengan malalui ideologi yang dianutnya. Pada sisi lain ideologi yang diyakini akan mampu menyesuaikan dengan perubahan masyarakat yang senantiasa terus berkembang.
       Terhadap dimensi fleksibilitas terdapat dua tipologi ideologi, yaitu ideologi terbuka dan ideologi tertutup.
1)   Ideologi terbuka adalah ideologi yang dalam eksistensinya memiliki unsur fleksibilitas, yang terbuka menyesuaikan diri terhadap pengaruh dari perkembangan dan pertumbuhan masyarakat pendukungnya.
2)   Ideologi tertutup adalah ideologi yang eksistensinya disakralkan oleh masyarakat pendukungnya sehingga ideologi tersebut praktis menutup diri terhadap perkembangan dari luar. Kecenderungan ideologi tertutup adalah melebih-lebihkan kebenaran dari sudut pandangnya atau kelompok sendiri. Ideologi tertutup biasanya dikembangkan kelompok masyarakat atau bangsa yang mengaggap budaya dan keadaan kelompok masyarakat paling unggul dibanding dengan kelompok atau bangsa lain. Dalam kehidupan global, ideologi tertutup akan kehilangan fungsinya sebagai pembimbing tindakan masyarakat pendukungnya, sehingga akan menimbulkan reaksi negatif seperti terjadinya distorsi.

2.        Beberapa Ideologi Besar
       Ideologi sebagai sistem pemikiran dan perenungan untuk diaktualisasikan dalam kehidupan masyarakat dalam bentuk perilaku, kelembagaan, politik, ekonomi, dan bidang-bidang lainnya dalam menghadapi pergaulan hidup bermasyarakat dan bernegara. Berdasarkan analisis Firdaus Syam (2007) ideologi besar di dunia sesungguhnya bersumber dari tiga pendekatan filsafat, yakni filsafat idealisme, filsafat materialisme dan filsafat teologisme.
a.    Filsafat idealisme, adalah mengedepankan paham rasionalisme dan individualisme, yang dalam kehidupan berpolitik telah melahirkan ideologi Liberalisme dan Kapitalisme. Ide yang menjadi kekuatan dasar menempatkan manusia sebagai pusat alam semesta, dimana manusia sebagai titik pangkal terjadinya perubahan sejarah. Ide ini berhasil membangun kehidupan kenegaraan sekuler yang memisahkan kehidupan kenegaraan dengan agama.
b.    Filsafat materialisme, pemikiran ini mengedepankan paham emosionalisme berupa perjuangan kelas dengan kekerasan dan kolektivisme, yang dalam berpolitik telah melahirkan ideologi sosialis-komunis. Materi (faktor ekonomi) yang menjadi kekuatan dasar  menempatkan kondisi ekonomi sebagai faktor penentu perubahan sejarah. Pada aliran radikal ideologi ini menjadikan agama dipertentangkan dengan negara, karena agama dianggap menghambat kemajuan, dan candu dalam masyarakat.
c.    Filsafat teologisme, yang berkembang dalam bentuk filsafat teologi statis dan dinamis.
1)   Filsafat teologi statis, agama yang menempatkan ajaran Tuhan memegang peran sentral dalam politik kenegaraan, yang dalam konstruk politik kenegaraan menjadikan pemuka agama sebagai tokoh yang dikultuskan. Pemuka agama sebagai wakil yang suci. Agama sebagai sesuatu yang sakral, sekaligus sebuah doktrin yang tidak perlu didialogkan, dan bersifat mistis. Sebagai contoh peran agama Kristen abad pertengahan di Eropa, dimana Paus sebagai pemimpin agama (Gereja) mengendalikan kehidupan politik kenegaraan di Eropa yang akhirnya dikenal sebagai zaman kegelapan (the dark ages). Pada abad ini gereja statis dan tidak dapat menghargai peran intelektual, bahkan dapat menentangnya, padahal kemampuan berpikir dan berinovasi merupakan bagian anugerah Tuhan yang dibenarkan dalam ajaran agama.
2)   Filsafat teologis dinamis, adalah agama yang menempatkan ajaran Tuhan sebagai sumber aspirasi, motivasi, innovasi dan ekspresi, yang menempatkan ajaran Tuhan sebagai faktor integratif dan pencerahan. Dalam kehidupan politik kenegaraan agama sebagai pembimbing. Agama dapat didialogkan untuk terlibat dengan wacana, sekaligus sebagai sumber etika atau sumber hukum. Dalam ajaran ini kemampuan berpikir dan berinovasi merupakan bagian anugerah Tuhan harus menjadi pembimbing sebagai ajaran sentral untuk membangun ideologi itu sendiri. Contoh aplikasi filsafat teologis dinamis adalah masa kejayaan Islam di Timur Tengah.
       Beberapa ideologi yang tumbuh, dan berkembang di dunia, misalnya Liberal-Kapitalis, Sosialisme, Marxisme-Komunisme. Pada sisi lain tumbuh berbagai ideologi kontemporer (Schmandt, 2002) seperti ideologi Fasisme di Italia dan Nazisme di Jerman yang sempat tumbuh dan sempat menimbulkan perang hebat di dunia.
a.    Ideologi Liberal-Kapitalis
        Zaman Renaissance melahirkan gerakan sekularisme dan humanisme, suatu gerakan yang mengagungkan kebebasan berpikir dengan memisahkan diri masalah keduniaan dengan permasalah yang berkaitan dengan agama (gereja). Dasar pemikiran individualisme liberal adalah manusia sebagai makhluk hidup pada dasarnya memiliki kebebasan, termasuk kebebasan mencapai kebahagian. Karenanya nilai kebebasan merupakan nilai utama yang harus diberikan dan dilindungi oleh negara.
1)   Kebebasan ini pada awalnya menyangkut kehidupan warga terkait dengan kebebasan dasar, seperti hak hidup, hak politik dan kemudian berkembang dalam kebebasan ekonomi dan soaial. Semua perwujudan hak tersebut dikembangkan sebagai hak pribadi, sehingga negara tidak diperbolehkan dalam campur tangan langsung terhadap hak-hak pribadi warga negara, kecuali jika kegiatan pribadi tersebut terkait dengan hak pribadi orang lain dan menimbulkan gangguan kepada pihak lain, negara akan mencampuri hak seseorang dalam melindungi warga yang terganggu. Tokoh penggagas individualisme ini didasari pada keyakinan hukum alam, dimana dalam kelahiran manusia diciptakan sama dengan hak-hak yang sama melekat pada diri setiap manusia yang lahir didunia. Beberapa tokoh tersebut seperti Thomas Hobbes, John Locke, Rousseau, Montesquieu, dan dukungan tokoh ekonomi pasar bebas terkemuka Adam Smith. Dari pemikiran berbagai tokoh kebebasan dan praktik penerapan ideologi Liberalis-Kapitalis, dapat ditengarai beberapa prinsip dalam ideologi Liberal-Kapitalis adalah: Penghargaan tinggi kepadaindividu serta persamaan dasar semua manusia, termasuk untuk bebas menentukan pilihan hidup secara individual.
2)   Jaminan penuh kepada pemilikan pribadi serta kebebasan penuh terhadap penggunaan milik pribadi, karena kebebasan ini diyakini dapat mewujudkan kehidupan manusia menuju kesejahteraannya.
3)   Dalam politik kenegaraan pemerintahan harus berdasarkan hukum dan mendapat persetujuan rakyat.
4)   Menolak pemikiran yang bersifat dogma yang dianggap membelenggu kebebasab berpikir, serta kebebasan untuk beragama.
5)   Persaingan bebas dalam kegiatan ekonomi, yang sering diterjemahkan dengan laissez faire, yang mendorong terciptanya paham imperalisme dan kapitalisme, dan sekarang terjelma dalam pola konglomerasi ekonomi global dimana kegiatan ekonomi besar (modal dan pemasaran) tidak lagi terbatasi oleh wilayah negara.
b.   Ideologi Sosialisme
       Robert owen (1771 – 1837) seorang kapitalis kaya di Inggris, adalah orang yang pertama kali menggunakan istilah sosialisme (Schmandt, 2002). Namun sebelum Owen sebenarnya ide perjuangan melawan ketidakadilan dampak dari individualism dan kapitalisme yang berhasil mewujudkan revolusi industry di Inggris  maupun di Perancis, pernah dilakukan oleh Francois Babeuf meskipun tidak menggunakan istilah sosialisme. Reaksi ketidakadilan yang dilakukan Francois Babeuf (1760 – 1825), dengan konsep awalnya menyatakan, manusia mempunyai hak yang sama di atas kekayaan di muka bumi. Kesamaan politik tidak mencukupi, paling tidak ada tingkat persamaan ekonomi tertentu. Pemikiran ini didukung oleh pembaharu Perancis Charles Fourier, yang menyerukan pembentukan kembali tatanan social, dimana negara harus dapat mengatur kepentingan umum bagi warga negaranya.
       Robert Owen, mempelopori gerakan social, mengusulkan kepada pemerintah untuk membangun perkampungan – perkampungan kerja sama kaum miskin, bukannya mereka sekedar memberi sedekah. Owen membuat perkampungan namun tidak bertahan lama karena pertengkaran antara warga kampong baru tersebut. Meski ide Owen gagal mewujudkan dalam kehidupan nyata yang lebih baik, pemikirannya menjadi transisi bagi bentuk – bentuk sosialisme modern.
Beberapa prinsip dalam paham sosialis adalah :
1)   Dalam gerakan social pengaruh agama cukup kuat, sehinggga doktrin agama masuk dalam kehiduoan social ekonomi, seperti munculnya gerakan Kristiani Sosialis di Inggris, dengan slogan populernya, bahwa agama harus disosialisasikan dan sosiali harus dikristianikan.
2)   Idealisme etis, bahwa sosialis bukan gerakan program politik dan atau ekonomi, tetapi suatu pemberontakan melawan kemelaratan, kebosanan, dan kemiskinan di bawah kapitalisme industri.
3)   Kesempatan yang tepat, ungkapan ini dikumandangkan kelompok Fabian di Inggris tahun 1884, dengan moto awal dari masyarakat itu adalah, engkau harus menunggu saat yang tepat, bila saat yang tepat itu tiba engkau harus mengadakan serangan yang dasyat, jika tidak penundaan yang engkau lakukan itu sia-sia dan tidak akan membawa hasil. Istilah serangan dasyat tidak dimaksudkan untuk revolusi tetapi dengan keyakinan bahwa tidak mungkin terjadi kemajuan kecuali golongan menengah dan atas memahami dasar pemikiran sosialis, itu masuk akal dan adil.
4)   Liberalisme, liberal telah menjadi sumber yang penting bagi sosialis. Meski ada kecenderungan berorientasi pada negara masa, dan kolektivitas, kecenderungan sebagai pribadi individu lebih disukai dari pada sekedar anggota dalam daftar nasional kolektif. Kekuatan ini tumbuh di Inggris ketika Partai Liberal merosot maka gerakan sosialis menjadi kuat.
        Pada negara dengan akar demokrasi tidak kuat, pada umumnya gerakan sosial tumbang ketika keuntungan praktis bagi para pekerja tidak dapat terpenuhi dengan segera. Dalam perkembangan ideologi sosialis ada dua aliran besar yaitu: Sosialis evolusioner demokratis, dan sosialis revolusioner yang totaliter. Gerakan sosialis revolusioner mengilhami pemikiran Marx dan berhasil membentuk doktrin komunis, sedang sosialis demokratis tidak memiliki doktrin yang tegas. Hal ini bisa dimengerti karena sumber-sumber beragam, mulai dari sosialis yang menerima materialistsis, tetapi menolak revolusioner, sampai diilhami oleh ideologi etis, humanis rasional sampai individu dan kelompok-kelompok yang termotivasi agama. Dari dua bentuk sosialis ini yang berkembang dan mampu mewarnai kancah pergolakan global dunia, namun kelompok sosialis revolusioner yang mengilhami pemikiran komunis Karl Marx, dapat berkembang dan pernah menjadi kekuatan besar dunia, yang bersaing dengan negara-negara berdasarkan ideologi liberal kapitalis.

c.    Komunis Karl Marx
        Ketika gerakan sosial Owen menyebar Karl Marx memberikan pemikiran rasional komunis, dalam memperjuangkan reaksi melawan kapitalis. Karl Marx (1818-1883) yang tertarik dengan ide Owen berusaha memperbaiki bersama Friederick Engels. Setelah berhasil meraih gelar doktor, ia bekerja sebagai pengajar dan jurnalis namun semuanya tidak memuaskan hatinya. Setelah tinggal di Prancis, Jerman dan akhirnya di Inggris Marx mendirikan Asosiasi Pekerja Internasional (The Internasional Working Mens Assosiation) tahun 1864. Dalam memperjuangkan pemikiran teori komunisme Marx (Schmandt, 2002) menjelaskan beberapa konsep ajarannya sebagai berikut:
a)   Perkembangan historis materialistik
        Perkembangan historis berlangsung melalui sintesis ketegangan atau kontradiksi yang inheren dialektika. Dialektika Marx dipengaruhi dialektika Hegel yang terdiri dari tesis, anti tesis dan sintesis. Pertentangan tesis dan anti tesis akan menimbulkan sintesis, dan sintesis ini tidak lain adalah tasis baru karena bertentangan dengan anti tesis baru demikian seterusnya. Tesis Hegel yang berada pada pemikiran abstrak dipindahkan Marx dalam bentuk dunia kebendaan atau materi.
        Bila dalam pandangan keagamaan yang absolut adalah Tuhan, dalam pandangan Marx yang absolut refleksi materi. Marx memaknai dialektika pertama harus diberi makna kongkrit yang berguna untuk memberikan penjelasan dan prediksi dalam tatanan sosial. Selanjutnya ditunjukan bahwa peristiwa-peristiwa sosial sebagaimana fenomena biologis dan fisik, berasal dari dan ditemukan oleh materi. Pemikiran inilah yang menjauhkan Marx dengan agama dan Tuhan. Tuhan hanya dianggap ide bayangan suatu proyeksi jiwa manusia sendiri. Tuhan bukan yang menciptakan manusia tetapi manusia yang menciptakannya Tuhannya sendiri. Agama hanyalah proyeksi manusia. Tuhan beserta kebesaran-Nya hanyalah gambaran yang dibentuk manusia tentang dirinya, jadi angan-angan manusia tentang dirinya sendiri. Gambaran inilah yang memperkuat pemikiran bahwa Marx tidak mengakui adanya Tuhan.
b)   Institusi sosial dan politik
        Institusi sosial politik dibentuk dan ditentukan oleh ekonomi, materialisme historis. Dalam konsep materialism histori adalah, bahwa manusia memenuhi kebutuhannya merupakan pondasi masyarakat. Sistem sosial dan politiknya merupakan super struktur yang dibangun diatas pondasi ini. Manusia pertama-tama harus mempunyai makanan dan masalah primer lainnya sebelum terlibat dalam masalah politik. Pembentukan sarana untuk memenuhi kebutuhan pokok sangat mendesak, karenanya menjadi pondasi institusi sosial yang akan dibangun. Marx mengembangkan dialek cara produksi (tesis) menimbulkan gerakan anti tesis yaitu kekuatan produksi. Cara produksi tidak terbatas pada alat produksi tetapi juga melibatkan buruh dan majikan, sedang kekuatan produksi menunjukkan pada kemampuan memproduksi yang selalu dipengaruhi oleh temuan ilmiah dan teknik-teknik baru. Pada suatu saat keseimbangan produksi dan cara produksi terganggu, tiba saatnya bagi revolusi sosial untuk mempengaruhi sintesis baru.
c)    Gerakan dialektik sejarah
        Gerakan dialektik sejarah terungkap dalam pertentangan atau konflik antar kelompok-kelompok ekonomi, dan pertentangan kelas. Salah satu dialektika Mark adalah munculnya feodalisme sebagai tesis, akan berhadapan dengan kaum kapitalis, dan akan muncul sintesis sosialis, karena kaum kapitalis tidak bersedia melepaskan sistemnya dalam kekuasaannya untuk merubahnya harus dilakukan dengan revolusi. Revolusi sebagai keharusan dalam teori Mark guna mewujudkan tatanan dunia baru yang lebih baik. Karenaitu tidak mengherankanbila dalam suatu negara muncul gerakan komunis Mark selalu terjadi revolusi pertumpahan darah.
        Dalam teori pertentangan Mark menempatkan kaum borjuis yang mampu memanfaatkan teknik baru, akhirnya mampu mengontrol kekuatan yang telah dibangunnya, dan akhirnya dapat mengarah pada pertentangan kelas yang semakin meningkat. Teori ini dianggap yang orisinal dari Mark karena sebelumnya tidak pernah dimunculkan oleh tokoh sosialis terdahulu (Schmandt, 2002). Teori pertentangan kelas tersebut adalah:
1)   Eksistensi kelas hanya dibentuk oleh fase historis dalam perkembangan produksi
2)   Bahwa pertentangan kelas pasti mengarah pada diktator proletariat
3)   Bahwa diktator sendiri hanya menjadi transisi menuju penghapusan semua kelas dan pada masyarakat tanpa kelas.
d.   Komunis Lenin-Stalin
        Perjuangan komunis Lenin lebih dekat dengan teori Karl Marx dibandingkan dengan kedekatannya dengan Stalin. Lenin termasuk konseptor yang paling menonjol dalam mewujudkan revolusi sosial. Konsep ini merupakan pembaharuan Komunis Marx yang awalnya bersifat memisahkan diri (sektarianisme). Perubahan dari Lenin (Kemal Pasha, 2002) bahwa Partai Komunis harus meninggalkan politik memisahkan diri (sektarianisme), akan tetapi sebaliknya harus memakai segala jalan untuk mengadakan perhubungan dengan massa rakyat, untuk kemudian mengambil kekuasaan.
        Untuk itu, kaum komunis harus masuk dalam segala bidang, mulai dari pemerintahan, perwakilan rakyat, serikat buruh dan bidang organisasi sosial lainnya.
Dalam gerakan Komunis Lenin membagi dalam dua kelompok strategis, yaitu:
1)   Gerakan terbuka, dimana kaum pekerja harus membentu organisasi-organisasi buruh dengan tujuan ekonomi sebagai pokok aktivitasnya, yang bekerja secara terbuka, umum dan sah.
2)   Gerakan tertutup atau rahasia, yakni organisasi dari kelompok-kelompok kecil revolusioner profesioner, mulai dari tentara, polisi, dan kelompok birokrasi lainnya, juga kelompok sosial keagamaan, pendidikan, maupun partai politik, semuanya diarahkan sinergis guna mendukung gerakan terbuka dari organisasi pekerja.
        Lenin menegaskan revolusi sebagai bentuk transisi dari masyarakat kapitalis kepada masyarakat komunis harus dipimpin oleh diktator proletaliat (Schmandt, 2002). Ketika revolusi berhasil penindasan masih diperlukan tetapi bukan pada masyarakat, melainkan pada sekelompok kecil kaum penghisap mayoritas. Proletaliat membutuhkan negara bukan kepentingan kebebasan, tetapi untuk menghancurkan musuh-musuh negara. Ajaran Lenin menjadi sempurna dari kepemimpinan terhadap semua pekerja dan orang-orang yang tereksploitasi. Terhadap anggota termasuk kelompok besar kaum pekerja perlu diterapkan kehidupan disiplin militer dan pencerahan komunis (indoktrinasi) yang dipimpin orang-orang terpilih dari kelompok kecil partai atau perorangan partai terpilih. Konsep Lenin berhasil diwujudkan dalam revolusi Rusia tahun1917 dengan penggulingan pemerintahan Tsarist.
        Keberhasilan Lenin dalam meletakkan dasar komunis Rusia pernah menjadi kekuatan besar di dunia, dan setia terhadap ajaran Marx, termasuk teori lenyapnya negara. Dengan keberhasilan revolusi tidak serta merta persamaan hak tercapai. Masih ada satu tahapan yang harus dilalui yakni mengikis habis peninggalan sifat kapitalis, seperti penguasa negara terhadap industri atau kebutuhan pokok rakyat dikuasai negara, namun kapan tahapan ini akan berakhir. Disini adalah kelemahan fatal ideologi Marx yang tidak mampu memberikan kepastian tujuan akhir masyarakat tanpa kelas. Lenin sendiri mengisyaratkan bahwa tujuan final tersebut mungkin tidak pernah tercapai (Schmandt, 2002). Hal ini berarti komunis memberikan kekuasaan pada diktator proletariat tanpa batas waktu yang jelas, atau bentuk pelestarian kekuasaan diktator dari sebagian kecil elit partai.
        Sepeninggal Lenin, posisi pimpinan Rusia digantikan Stalin. Tahun 1936 Stalin menyatakan sebagian pentahapan masyarakat komunis telah tercapai. Produksi telah sepenuhnya disosialisasikan, sistem kelas dihapus, dan masyarakat telah terbebas dari eksploitasi. Bila Lenin pesimis terbentuknya masyarakat tanpa negara, maka Stalin mengkritisi bahwa Rusia masih diperlukan karena sekitar Rusia masih dikuasai Kapitalis, jadi tidak mungkin meniadakan Rusia. Doktrin Marx tentang negara ketinggalan zaman karena tidak mempertimbangkan situasi internasional. Keadaan ini diperkuat pernyataan diplomat Rusia Vyshinsky, bahwa problem tentang matinya negara hanya problem teoritis murni, komunisme modern tetap mempertahankan keberadaan negara.
        Stalin dianggap berhasil memimpin Rusia meski kekuasaan dijalankan mirip Nazi Jerman masa Hitler. Pemujaan terhadap Stalin demikian besar dengan kemampuan merevisi doktrin Marx dan Lenin demi kejayaan Rusia, meski Stalin dianggap melanggar kepemimpinan kolektif dengan menciptakan kultus individu dirinya.
e.    Ideologi Nasionalis
        Dalam Kamus Besar Indonesia (Depdikbud, 1997), nasionalisme dijelaskan sebagai berikut:
1)   Paham atau ajaran untuk mencintai bangsa dan negara sendiri
2)   Kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabaikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu, yakni semangat kebangsaan.
        Nasionalis berarti pernyataan suatu kelompok yang didasarkan atas keturunan bersama, budaya, bahasa, atau agama dan wilayah yang sama terhadap semua pengakuan lain atas loyalitas seseorang. Sebagai paham politik, nasionalis memberi dasar dan pembenaran ideologis bagi semua bangsa di dunia untuk mengorganisasikan ke dalam entitas yang bebas atau otonom. Entitas-entitas ini pada umumnya mengambil bentuk negara nasional merdeka. Doktrin nasionalisme lahir dalam sejarah Jerman pada abad 18 (Schmandt, 2002), setelah Jerman terpecah-pecah sebagai dampak Revolusi Perancis.
        Nasionalisme sebagai paham atau ideologi mendominasi berdirinya negara-negara di Asia dan Afrika, serta Amerika Latin setelah berakhirnya Perang Dunia ke dua. Nasionalisme menjadi paham perlawanan terhadap penjajah, termasuk bagaimana Bung Karno, menekankan pentingnya nasionalisme dalam kehidupan kebangsaan Indonesia. Setelah merdeka paham nasionalisme mengiringi kehidupan gerak pembangunan bangsa dengan prinsip berdiri di atas kai sendiri. Pada masa Orde Lama Indonesia slogan politik ini pernah dilakukan pada masa Presiden Soekarno, saat Indonesia menghadapi tekan dan embargo negara-negara Barat, dengan slogan pembangunan “Berdikari” atau berdiri di atas kaki sendiri.
        Perkembangan nasionalisme yang pernah mendominasi paham setelah berakhirnya Perang Dunia II terutama di negara-negara bekas penjajahan bangsa-bangsa Eropa, di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, kini dihadapkan pada tantangan baru berupa lahirnya tatanan dunia global yang melampaui batas, batas geografis, administratif, dan sosio kultural yang menjadi sistem di dunia dalam pergaulan internasional bangsa-bangsa.
f.     Islam dan Ideologi
        Islam sebagai dieu (petunjuk) pandangan hidup (way of life), memiliki prinsip-prinsip terbentuknya suatu ideologi yang sesuai dengan ajaran Islam. Islam sebagai agama wahyu, memberikan petunjuk bagi umatnya senantiasa untuk merenungi (tafakur), mengkaji (tadabur), mempelajari rahasia yang terkandung di jagad raya, termasuk masalah kebudayaan, kemasyarakatan, politik kekuasaan dan kenegaraan dengan segala pemikiran dan perilakunya. Akal manusia diberi kebebasan berijtihat dengan landasan kebenaran. Posisi akal dalam setiap muslim menurut Mohammad Natsir (Syam Firdaus, 2002) menjelaskan sebagai berikut:
1)   Agama Islam (dienul Islam), menghormati akal manusia dan mendudukan akal pada tempat yang terhormat serta menyerahkan agar manusia mempergunakan akal untuk menyelidiki keadaan alam.
2)   Agama Islam mewajibkan pemeluknya baik laki-laki dan perempuan untuk menuntut ilmu, tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat, sebagaimana sabda Rasul.
3)   Agama Islam melarang bertaklid buta, menerima sesuatu sebelum diperiksa, walaupun datangnya dari kalangan sebangsa dan seagama atau dari bapak-ibu atau nenek moyang.
4)   Agama Islam menyuruh memeriksa kebenaran walaupun datangnya dari kaum yang berlainan bangsa dan kepercayaan.
5)   Agama Islam menggemarkan dan mengarahkan pemeluk pergi ke negara lain, memperhubungkan silaturahmi dengan bangsa dan golongan lain, saling bertukar rasa dan pandangan.
        Islam berisikan ajaran atau petunjuk yang berhubungan dengan masalah dunia dan akhirat yang bersifat universal. Ajaran Islam tidak dipengaruhi oleh ruang dan waktu, berlaku sepanjang zaman. Islam bukan sekedar ideologi, tetapi lebih dari eksistensi ideologi, meski dalam perkembangan Islam dilakukan secara ideologis secara nyata oleh Nabi Muhammad saw. Nabi bersama pengikutnya hijrah ke Madinah membentuk masyarakat yang corak, tujuan dan dasar bersama hadir dalam waktu yang sama. Beberapa prinsip dalam Islam yang dapat dipersamakan dengan ideologi menurut Syam Firdaus (2002):
1)        Percaya pada satu Tuhan,
2)        Persatuan dan kesatuan,
3)        Musyawarah dan mufakat,
4)        Memegang persamaan dasar manusia,
5)        Etika tingkah laku didasarkan atas kerja sama,
6)        Memegang/ menegakkan keadilan,
7)        Menjunjung tinggi kemerdekaan bangsa dan individu,
8)        Sistem ekonomi, yang meletakkan dasar semua kekayaan sumbernya milik Allah, jadi pemilikan barang dan jasa pada manusia adalah terbatas,
9)        Hukum Tuhan, dengan Al Quran dan Sunnah Rasul,
10)    Masyarakat yang penuh kasih sayang dan bukan sebaliknya yang penuh kebencian,
11)    Menjunjung tinggi hak asasi manusia,
12)    Kekuasaan itu bukan hukum, tetapi hukum adalah kekuasaan,
13)    Pemerintah yang diperintah mempunyai persamaan derajat,
14)    Pemerintah dengan persetujuan yang diperintah,
15)    Membangun kebudayaan.
        Lebih lanjut Syam Firdaus (2002) menyebutkan, dalam sistem politik Islam mendasarkan pada tiga prinsip yaitu Tauhid, Risalah dan Khilafah.
1)   Tauhid berarti hanya Tuhan Yang Maha Kuasa, adalah pencipta, pemelihara dan penguasa dari seluruh alam. Kedaulatan hanya terletak pada Nya, yang berhak memerintah dan melarang. Manusia sebagai umat dituntut mengabdi, ibadah dan ketaatan kepada Tuhan.
2)   Risalah, Rasulullah telah menegakkan bagi kita salah satu sistem hidup dalam Islam dan memberikan praktik yang diperlukan secara rinci.
3)   Khilafah, atau perwakilan (representation), menjelaskan posisi manusia di muka bumi sebagai khalifah atau wakil Tuhan di dunia. Di posisi ini duduk para khalifah sebagai lembaga untuk berkumpul dan membicarakan persoalan terkait dengan kemasyarakatan dan kenegaraan.


C.     Ideologi Pancasila

       Dalam pengusulan rumusan dasar negara Pancasila, Soekarno juga menjelaskan tentang ideologi Pancasila, yang dipersamakan dengan Declaration of Independence Amerika Serikat serta Manifesto Komunisme Karl Marx dan Engels. Bila Amerika mengagungkan kehidupan sosial yang sama antar individu, Marx mengagungkan kehidupan sosial yang sama antar individu. Pancasila sebagaimana ditawarkan Bung Karno mengakui hak individu serta perlunya mewujudkan tercapainya cita-cita sosial dalam masyarakat. Ideologi Pancasila menggariskan terwujudnya keseimbangan hak manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk individu.
       Pancasila menjamin setiap individu mamiliki hak pribadi yang tidak dapat diintervensi pihak lain. Pada sisi lain Pancasila juga mengakui adanya hak kolektif demi kepentingan umum, sehingga perlu diutamakan. Dalam praktik kenegaraan dan hubungan internasional, keseimbangan antara hak individu dan sosial digambarkan dalam hubungan yang harmonis antara nasionalisme dan internasionalisme. Internasionalisme tidak akan terwujud dengan baik tanpa nasionalisme, sebaliknya nasionalisme tidak akan tumbuh subur kalau tidak hidup dalam nuansa internasionalisme.
       Ideologi Pancasila menjunjung hak individu baik langsung maupun tidak langsung terpengaruh dengan ideologi liberal, dimana memang tidak dipungkiri bahwa manusia yang merupakan makhluk individu, bukanlah murni sebagai individu yang mandiri, tetapi sekaligus sebagai makhluk sosial yang dalam kenyataan hidupnya tidak dapat lepas dari masyarakat atau bantuan bantuan orang lain, pada sisi lain bangsa Indonesia pada dasarnya adalah bangsa yang religius yang mengakui adanya kekuatan yang luar biasa di luar kemampuan manusia. Manifestasi pengakuan kekuatan yang luar biasa di luar kekuatan manusia dan diyakini sebagai penuntun hidup manusia adalah Tuhan Yang Maha Kuasa, yang semuanya diakui oleh penganut agama yang ada di Indonesia sehingga terjadi kesepakatan nasional dengan rumusan sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa.
       Keseimbangan kedudukan manusia sebagai individu dan makhluk sosial (Kamal Pasha, 2002) merupakan perpaduan ideologi liberalis dan sosialis yang ditegakkan di atas landasan moral dan agama, maka kehidupan demokrasi Indonesia yang pernah mengalami pasang surut juga dikenal sebagai demokrasi yang religius. Terhadap realitas ideologi Pancasila tersebut, Pancasila sebagai ideologi negara berfungsi sebagai berikut:
1.      Pancasila dapat memberikan legitimasi dan rasionalisasi terhadap perilaku dan hubungan-hubungan sosial dalam masyarakat Indonesia,
2.      Pancasila merupakan dasar acuan pokok bagi solidaritas sosial dalam kehidupan individu kelompok atau masyarakat sebagai warga Indonesia,
3.      Pancasila sebagai salah satu unsur penting dalam mengikat atau mempersatukan bangsa Indonesia dan menjaga integritas nasional bangsa Indonesia.
       Untuk mewujudkan fungsi maksimal sebagai ideologi negara, Pancasila harus pula mencerminkan tiga dimensi ideal, realitas, dan fleksibilitas.
a.       Dimensi ideal, Pancasila memberikan jaminan dalam mencapai tujuan ideal bagi kehidupan manusia pada umumnya dan bangsa Indonesia khususnya. Pancasila mampu menggugah harapan, memberikan optimisme dan motivasi kepada bangsa Indonesia.
b.      Dimensi realitas, Pancasila menunjukkan realitas yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia sebagai makhluk individu, makhluk sosial serta makhluk ciptaan Tuhan yang menjamin aktivitas kehidupan sosial, politik, budaya sebagai pencerminan kebebasan pilihan hidup, dan kebebasan beragama sebagai wujud pengakuan Tuhan Yang Maha Esa.
c.       Dimensi fleksibilitas, Pancasila harus memiliki fleksibilitas dan terbuka bagi interprestasi baru sehingga tetap aktual dalam mengantisipasi perkembangan zaman, tanpa harus tenggelam dalam arus perubahan yang tidak terarah. Penafsiran tunggal dapat mengurangi nilai ideologis Pancasila.

1.        Pancasila sebagai Ideologi Terbuka
       Pancasila merupakan hasil pemikiran oleh para pemimpin kemerdekaan Indonesia, dirumuskan dalam kalimat sederhana, mudah dimengerti, dengan muatan nilai perjuangan dari sifat umum universal sampai pada tataran khusus dan kongkrit, merupakan dasar, asas, pedoman, norma hidup dan kehidupan bagi bangsa Indonesia. Sebagai ideologi Pancasila mengandung nilai dasar pandangan hidup bangsa yang mampu menyesuaikan zaman secara dinamis. Kemampuan penyesuaian Pancasila yang dinamis ini menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara yang didasarkan pada nilai-nilai ketuhanan dan budaya bangsa yang kuat, mampu menyesuaikan perkembangan dengan perkembangan global sepanjang pengaruh global tersebut tidak bertentangan dengan nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praktis dari Pancasila. Nilai-nilai tersebut adalah sebagai berikut:

a.    Nilai Dasar
   Nilai dasar adalah nilai yang ada dalam Pancasila yang merupakan representasi dari nilai atau norma dalam masyarakat, bangsa dan negara Indonesia. Nilai ini tidak bisa diubah-ubah, sebagaimana sila-sila dari Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945.
b.   Nilai Instrumental
   Nilai instrumental adalah nilai pendukung utama dari nilai dasar Pancasila, yang dapat mengikuti perkembangan zaman. Nilai ini dapat berupa peraturan perundang-undangan, mulai dari UUD, Ketetapan MPR, UU, atau PP untuk menjadi tatanan dalam pelaksanaan ideologi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
c.    Nilai Praktis
Nilai praktis harus ada pada setiap penyelenggara negara artinya penyelenggara baik dari tingkat pusat sampai tingkat terbawah penyelenggaraan pemerintah harus memiliki semangat membangun sesuai dengan nilai-nilai dasar pancasila secara konsekuen,amanah dan istiqamah, serta mampu memberikan keteladanan kepada bawahannya sesuai kondisi setempat atau lingkungan kerja pada masing-masing kelompok.
       Dengan nilai-nilai terkandung pada pancasila sebagai mana tersebut diatas, pancasila bukan berarti dogma atau tertutup dari pengaruh lain,namun demikian sifat keterbukaan terhadap ideologi pancasila terdapat rambu-rambu atau batas-batas yang harus diperhatikan dan tidak boleh dilanggar adalah:
a.    Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis
b.    Larangan terhadap paham atau ideology marxisme, leninisme dan komunisme
c.    Mencegah perkembangan liberalism dan kafitalisme fundamentalistik
d.   Larangan terhadap pandangan dan perilaku ekstrim serta penciptaan agama baru yang dapat menggelisahkan kehidupan masyarakat.
       Dalam kehidupan global pancasila sebagai ideologi terbuka, pancasila dihadapkan pada tantangan masa depan. Terhadap tantangan ini presiden Sosilo Bambang Yudhoyono (2008) menyatakan:
a.    Kita merasakan bahwa kapitalisme dan liberalism menjadi semacam ideologi global yang menembus, memenetrasi semua bagian dari dunia ini. Mari kita lihat kaitannya dengan pancasila. Pancasila sangat jelas yang kita bangun adalah kesejahteraan dan keadilan social. Hidup dalam globalisasi yang sarat dengan hukum dan kaidah-kaidah kapitalisme, pasar bebas, pasar terbuka, tetaplah kita kokoh, tetaplah kita kuat pendirian bahwa semua itu kita abdikan untuk kesejahteraan bersama dan untuk keadilan social.
b.    Bangsa yang cerdas, bukan bangsa yang terus mengeluh, menyerah, dan marah, tetapi bangsa yang cerdas mampu mengalirkan sumber-sumber kesejahteraan yang tersedia di Indonesia.
c.    Mengenai liberalism Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menegaskan tidak ada kebebasan mutlak menurut paham pancasila.
d.   Isu yang lain, pancasila dengan komunisme dan sosialisme yang sangat fundamental. Sebenarnya sudah usai debat. Para pendiri Republik ini sudah mencarikan solusi yang tepat dan tidak harus berperang, dalam stigma ideology seperti ini. Pancasila, bangun negara kita menghadirkan keseimbangan dan kesateraan. Mana hak negara, masyarakat, dan perorangan. Sangat jelas tidak boleh negara mengambil semua hak itu atas nama ideologi tertentu. Kemudian sama dengan kapitalisme yang sangat fundamentalistik dan tidak menyisakan wajah keadilan sosial dan humanism, jelaslah kapitalisme, komunisme dan sosialisme yang sangat fundamental juga tidak sesuai dengan jiwa dan semangat pancasila. Kuncinya sekali lagi adalah kesejahteraan bersama dan keadilan sosial.
       Untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan menurut Amin Rais (1998) ada tiga tantangan yang harus dihadapi pemimpin Indonesia dimasa datang, yaitu:
a.       Membangun sumber daya insane yang kompetitif dengan bangsa-bangsa lain,
b.      Bisa membangun clean government yang tidak hanya dalam slogan dan verbalisme tapi juga dalam kenyataan,
c.       Memperciut kesenjangan sosial ekonomi yang semakin lebar.Harus ada rekonstruksi menyeluruh mengenai pembagian kuenasional.
2.        Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa
      Pandangan hidap adalah kristalisasi dan institusionalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki,yang diyakini kebenarannya dan menimbulkan tekad untuk mewujudkannya.Dengan pandangan hidup inilah suatu bangsa akan memandang persoalan yang dihadapi dan menentukan arah pemecahan secara tepat sesuai dengan yang diyakini.Tanpa memiliki pandangan hidup,sesuai bangsa akan terombang-ambing dalam menghadapi persoalan baik dalam memecahkan masalah dalam negeri atau masalah yang berhubungan dengan dunia luar.Tanpa memiliki pandangan hidup,sesuai bangsa akan terombang-ambing dalam menghadapi persoalan baik dalam memecahkan masalah dalam negeri atau masalah yang berhubungan dengan dunia luar.Tanpa memiliki pandangan hidup,sesuai bangsa akan terombang-ambing dalam menghadapi persoalan baik dalam memecahkan masalah dalam negeri atau masalah yang berhubungan dengan dunia luar.
       Bangsa Indonesia termasuk bangsa yang besar,yang mampu menggali pandangan hidup dari nilai-nilai luhur bangsa baik yang bersifat universal sebagaimana sila pertama dan kedua yang merupakan pengakuan bangsa Indonesia kepada Tuhan Yang Maha Esa,tuhan semua manusia bukan hanya tuhan bangsa Indonesia.Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah cerminan pengakuan bangsa Indonesia bahwa bangsa Indonesia yang merdka merupakan bagian bangsa-bangsa diseluruh dunia dengan kedudukan harkat dan martabat yang sama.Pancasila mulai sila ketiga sampai kelima adalah cara pandang bangsa Indonesia dengan titik berat sebagai bangsa yang merdeka dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdaulat dan berkewajiban mewujudkan keadilan bagi bangsa Indonesia.
       Dengan pancasila kita bangsa Indonesia mendapatkan arah untuk semua kegiatan dan aktipitas kehidupan sehari-hari.Untuk itu sudah seharusnya bangsa Indonesia dalam setiap sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari harus mencerminkan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila serta mengamalkan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan sehari-hari.Memang pengamalan/pelanggaran nilai pancasila dalam kehidupan sehari-hari tidak semua mengandung sanksi hokum positif,namun disinilah letak keluwesan pancasila dalam membangun kehidupan yang harmonis sesama manusia meski tidak semua terkait dengan hukum positif.Kita perlu memahami dan menyadari bahwa mengamalkan nilai umum pancasila,apabila kita meyakini bahwa nilai pancasila tidak bertentangan dengan norma agama,norma kesusilaan,norma kesopanan,adat kebiasaan serta tidak bertentangan dengan norma hukum.
       Pengamalan dasar ini merupakan pengamalan yang bersifat subjektif,dengan bidang yang sangat luas dimana semua orang dapat mengklaim telah mengamalkan pancasila dengan pola yang berbeda tanpa harus menghina dan menjelekkan pihak lain.Secara objektif seseorang beragama dan dijamin diindonesia dan secara subjektif masing-masing mengamalkan dengan keyakinan masing-masing.
3.        Pancasila Sebagai Dasar Negara
       Dasar negara merupakan landasan penyelenggaraan pemerintahan negara bagi setiap aparatur negara.Bagi bangsa Indonesia pancasila yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 telah ditetapkan sebagai dasar negara juga sebagai ideologi negara,yang berarti pancasila dijadikan dasar penyelenggaraan negara.Sebagai landasan bagi penyelenggaraan negara pancasila dipurmulasikan dalam bentuk aturan sebagaimana tercermin dalam pasal-pasal yang tercantum dalam UUD 1945.
       Meski secara tersurat pembukaan UUD 1945 tidak pernah menyebut pancasila dan hanya menyebut sila-sila mulai sila pertama sampai sila ke lima,sila-sila tersebut telah diakui sebagai pancasila dimaksud dasar negara Indonesia.Pancasila sebagai dasar negara mempunyai sikap imperative (memaksa) yaitu mengikat dan memaksa semua warga negara untuk tunduk kepada pancasila dan siapa melanggar pancasila sebagai dasar negara harus ditindak berdasarkan aturan hokum yang berlaku di Indonesia.Dengan demikian pelaksanaan pancasila sebagai dasar negara disertai sanksi-sanksi hokum.
       Penegasan pancasila sebagai Dasar Negara dan Sumber hukum sebagaimana ditetapkan dalam Tap MPRS No.XX/MPRS/1996 yang menetapkan tata urutan perundang undangan.Dalam era reformasi Tap no.XX/MPRS/1966 diubah dengan ketetapan MPR No.III/MPR/2000,pancasila sebagai sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan penyusunan peraturan perundang-undangan sebagaimana Tap MPR No.III/MPR 2000 adalah:
1)    UUD 1945
2)    Ketetapan MPR
3)    Undang-Undang
4)    Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (Perpu)
5)    Peraturan Pemerintah
6)    Keputusan presiden
7)    Peraturan Daerah
       Perkembangan tata urutan perundangan mengalami pergeseran, dengan ketetapannya Undang-Undang No.10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang undangan hirarkhi peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:
       Sebagai sumber hukum,maka peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai pancasila.Nilai pancasila menurut Notonegoro dalam darji.Darmodiharjo,dkk(1978)mencakup:
1)    Nilai materiil,yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia,
2)    Nilai vital,yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk melakukan kegiatan kehidupan sehari-hari,
3)    Nilai kerohanian,yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia seperti nilai kebenaran yang bersumber kepada akal manusia,nilai keindahan yang bersumber pada unsur rasa manusia, nilai kebaikan atau moral yang bersumber pada kehendak manusia dan nilai religiusyang bersumber pada kepercayaan manusia.
       Pancasila mengakui keseimbangan nilai rokhaniah dan material secara berimbang, dengan menempatkan nilai Ketuhanan sebagai nilai tertinggi yang tersusun secara sistematis – hirarkhis, dimana:
1)   Sila pertama menjiwai sila kedua sampai kelima
2)   Sila kedua dijiwai sila pertama dan menjiwai sila ketiga sampai kelima
3)   Sila ketiga dijiwai sila pertama dan kedua serta menjiwai sila keempat dan kelima
4)   Sila keempat dijiwai sila pertama, kedua dan ketiga, serta menjiwai sila kelima
5)   Sila kelima dijiwai oleh sila pertama sampai sila keempat.